Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menilai revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109/2012) belum diperlukan.
Pasalnya, dia menilai upaya mengurangi jumlah perokok berusia di bawah 18 tahun memerlukan implementasi tegas dari PP 109/2012 dan bukan serta merta merevisi isi aturan tersebut
Budidoyo menjabarkan bahwa berbagai aturan pengendalian tembakau termasuk PP 109/2012 telah berhasil. Di antaranya, menurunkan jumlah prevalensi perokok dewasa, pada tahun 2013 jumlah prevalensi perokok dewasa adalah 29,3 persen dan tahun 2018 sudah turun menjadi 28,8 persen (Data Riskesdas).
Selain itu terdapat penurunan jumlah produsen rokok, data Kementerian Perindustrian menunjukkan pada tahun 2013 terdapat 1.206 produsen rokok, sedangkan pada tahun 2018 telah mengalami penurunan drastis menjadi 770 produsen.
“Volume produksi rokok pun turun berdasarkan data Kementerian Keuangan. Pada tahun 2013, volume produksi rokok nasional mencapai 346 miliar batang, sementara tahun 2020 volume ada di angka 322 miliar batang,” ujar Budidoyo, Jumat (30/7/2021) dalam keterangan tertulisnya.
Ketua Umum AMTI itu menambahkan capaian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian tembakau yang saat ini berlaku termasuk di dalamnya PP 109/2012 sudah efektif dalam mengendalikan produk tembakau, yang justru harus diperkuat adalah implementasinya, serta sinergi dengan berbagai Kementerian Lembaga juga elemen masyarakat.
Baca Juga
PP 109/2012 juga sudah mengatur pelarangan penjualan rokok kepada anak berusia di bawah 18 tahun dan ibu hamil dan mengatur juga peran serta masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam upaya edukasi bahaya merokok dan pencegahan perokok anak. Implementasi peraturan tersebut di lapangan memang masih memperlihatkan kekurangan.
Managing Director IPSOS di Indonesia, Soeprapto Tan mengungkapkan bahwa 32 persen pedagang tradisional atau warung sama sekali tidak tahu adanya peraturan larangan penjualan rokok kepada anak-anak. Hal ini dikarenakan mereka tidak pernah mendapat sosialisasi pemerintah tentang aturan tersebut.
"Sebagian menyimpulkan larangan itu hanya berlaku bagi pembeli rokok, dan bukan untuk pedagang. Bahkan, pedagang rokok tradisional tersebut juga mengira bahwa produk rokok dapat diperjualbelikan kepada siapa saja, selama rokok tersebut legal," kata Soeprapto Tan.
Sebelumnya, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Atong Soekirman mengatakan revisi PP 109/2012 belum ada urgensinya, sehingga tidak perlu dilakukan.
Dia menjelaskan pada masa pandemi Covid-19, baik pemerintah pusat hingga pemerintah daerah berfokus pada penganangan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
“Daripada melakukan revisi PP 109, fokus saja pada penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi,” ujarnya.
Revisi PP 109/2012 mencakup pelarangan penggunaan bahan tambahan, pembesaran gambar peringatan kesehatan, pengetatan restriksi iklan, serta pelarangan kegiatan sponsor dan promosi oleh Industri Hasil Tembakau (IHT).
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Widyawati mengungkapkan bahwa usulan revisi telah diajukan sejak tahun 2017 sebelum Covid-19.
“Namun belum mendapatkan persetujuan saat harmonisasi,” ungkapnya.
Dia mengutarakan alasan revisi didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, maraknya penggunaan rokok elektronik yang mengandung zat kimia yang bahaya pada remaja. Berdasarkan catatan Kemenkes, kenaikan perokok elektronik remaja mencapai 1,2 persen - 10,9 persen sepanjang 2016-2018.
“Kenaikan prevalensi perokok pemula dari 10,9 persen [2013 -2018 – Riskesdas] akibat gencarnya promosi dan iklan rokok. Selain itu, di masa Covid-19, orang dengan ganguan paru akibat merokok menjadi salah satu comorbid yang memberatkan kondisi yang bersangkutan. Lalu meningkatnya beban biaya kesehatan dan karena kita diminta mendukung pencapaian generasi emas 2045,” simpul Widyawati.