Bisnis.com, JAKARTA—Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai pemerintah perlu mengantisipasi komitmen pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) seiring melonjaknya harga batu bara.
Dia mengatakan, sampai saat ini batas atas indeks batu bara untuk kelistrikan umum sebesar US$70 per ton masih diberlakukan.
Disparitas harga yang cukup tinggi antara indeks harga batu bara internasional dan harga ketetapan DMO untuk kelistrikan umum berpotensi menjadi masalah, khususnya komitmen atas kewajiban DMO.
“Saya melihatnya malah ke komitmen pasokan DMO. Yang perlu diantisipasi justru dampak disparitas harga yang tinggi. Bagaimana komitmen pemasok, bagaimana pemerintah siapkan formula denda seperti apa, ini yang menurut saya perlu antisipasi strategi dari pemerintah,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Dia menuturkan, pemerintah pada dasarnya telah mengantisipasi komitmen pemenuhan DMO dengan mekanisme penalty, sekaligus mengaitkannya dengan Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB).
Rumitnya teknis industri batu bara, kata dia, membuat pemerintah memerlukan waktu untuk terus menghitung dan mengevaluasi agar roda bisnis pertambangan komoditas itu tetap prospektif dan mampu mempertahankan pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
“Jadi memang DMO harus menjadi ruang yang terus dapat terbuka diperbaiki. Namun, bersamaan jangan sampai kebutuhan batu bara di dalam negeri yang sebatas 25 persen menjadi kekurangan dan bahkan menyebabkan pemadaman listrik. Political cost yang tinggi jika sampai pemadaman terjadi akibat kekurangan pasokan batu bara,” katanya.
Adapun, harga batu bara acuan (HBA) tercatat menembus angka US$115,35 per ton pada Juli 2021, naik US$15,02 per ton dari posisi Juni 2021 yang mencapai US$100,33 per ton. HBA Juli tersebut mencetak rekor tertinggi sejak Desember 2011 yang mencapai US$112,67 per ton.