Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pasar Minyak Sawit Memasuki Keseimbangan Baru

Harga komoditas kelapa sawit kembali menunjukkan tren kenaikan pada pertengahan Juli, seiring dengan sentimen kondisi pembatasan mobilitas di negara-negara produsen utama.
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Badan Litbang Kementerian ESDM memulai kajian kelayakan pemanfaatan minyak nabati murni (crude palm oil/CPO) untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) hingga Desember 2020. Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Badan Litbang Kementerian ESDM memulai kajian kelayakan pemanfaatan minyak nabati murni (crude palm oil/CPO) untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) hingga Desember 2020. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Ekspor produk sawit (CPO) mengalami penurunan pada Juni 2021 dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Tetapi, situasi ini dinilai hanya berlangsung sementara dan justru menjadi momentum lahirnya keseimbangan baru pada pasar minyak nabati.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor minyak dan lemak nabati dengan kode HS 15 turun dari US$2,74 miliar pada Mei 2021 menjadi US$1,89 miliar pada Juni 2021. Penurunan nilai ekspor diikuti dengan berkurangnya volume, dari 2,61 juta ton menjadi 1,78 juta ton.

Wakil Menteri Perdagangan periode 2011–2014 sekaligus ekonom pertanian dari IPB University Bayu Krisnamurthi berpendapatan penurunan ini dapat diduga sebelumnya. Kondisi penurunan impor tidak terlepas dari harga tinggi minyak sawit yang turut memengaruhi keputusan pembelian importir.

Jika merujuk pada data Bank Dunia, harga rata-rata minyak sawit mentah (CPO) masih tertahan di atas US$1.000 per ton, yakni US$1.156 per ton pada Mei dan US$1.017 per ton pada Juni. 

“Selain itu produksi kedelai mulai meningkat dan harga minyak bumi masih bertahan [naik]. Dengan proyeksi produksi sawit yang relatif baik, faktor-faktor ini seperti proses normalisasi pasar produk sawit dunia,” kata Bayu, Kamis (15/7/2021).

Bayu memperkirakan penurunan ekspor akan melandai dengan permintaan yang relatif konstan ke depannya. Keseimbangan baru terbentuk lantaran importir yang sempat beralih ke minyak sawit akibat kenaikan harga kedelai mulai kembali melakukan pembelian terhadap kedelai seiring normalisasi produksi dan harga.

“Kemarin ada perpindahan, sebagian buyer menganggap harga kedelai terlalu mahal, lalu pindah ke sawit. Namun harga sawit juga bergerak naik dan hampir menyamai kedelai, istilahnya diskon yang dinikmati buyer menipis. Dengan harga kedelai yang mulai turun, sebagian pembeli kembali ke komoditas tersebut dan harga kedelai tertekan,” kata dia.

Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo menyebutkan penurunan pada Juni telah diperkirakan pelaku usaha. Bernard mengatakan hal ini tidak terlepas dari aksi pelaku pasar yang menanti kepastian regulasi ternanyar soal pungutan ekspor (levy) terhadap produk sawit.

“Dari volume turun karena pelaku pasar wait and see. Namun bisa dilihat apakah volume produk refined [olahan] ikut turun atau tidak. Biasanya saat CPO [produk mentah] turun, produk olahan naik,” kata Bernard.

Bernard juga menjelaskan bahwa penurunan ekspor minyak sawit pada Juni cenderung bersifat sementara dan berpeluang kembali naik. Harga komoditas ini juga kembali menunjukkan tren kenaikan pada pertengahan Juli, seiring dengan sentimen kondisi pembatasan mobilitas di negara-negara produsen utama.

“Tren permintaan cenderung stabil dan mengarah pada kenaikan. Untuk pasar Asia Selatan yang dilanda kenaikan Covid-19 sendiri bukan berarti lockdown dan tidak bisa masuk,” katanya.

Bernard bahkan mengatakan peluang untuk menaikkan ekspor ke India, salah satu pasar utama minyak sawit, semakin besar karena negara tersebut baru saja mengumumkan penurunan import duty untuk produk CPO dan membuka masuk akses bagi produk olahan minyak sawit sampai Desember 2021.

“Sebelumnya produk refined dibatasi masuk ke India dan hanya mengacu pada izin dan kuota. Kini bisa masuk dengan bea masuk 37,5 persen,” tambahnya.

Terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyebutkan permintaan dari China juga solid dan terus menguat. Sebagai contoh, ekspor pada Mei naik 71 persen secara tahunan.

“Kami harap dengan adanya PPKM produksi tanpa hambatan. Ekspor seharusnya juga tetap lancar, hanya beberapa negara dengan kenaikan kasus yang mungkin terganggu,” kata Joko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper