Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai Indonesia harus tetap fokus melakukan diversifikasi produk dan negara tujuan ekspor, meski tren kebijakan trade remedies cenderung berkurang dalam 10 bulan terakhir.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kebijakan hambatan dagang berpeluang kembali marak diambil negara yang mulai memasuki fase pemulihan. Pelonggaran restriksi, menurutnya, banyak dipengaruhi oleh pertimbangan situasi pandemi.
“Beberapa negara secara temporer memang melonggarkan hambatan masuk dari luar negeri untuk tujuan tertentu. Misalnya untuk produk kesehatan dan pangan pemenuhan stok di dalam negeri,” kata Bhima, Minggu (4/7/2021).
Dia menilai kecenderungan untuk kembali restriktif bisa kembali terulang tatkala perekonomian dan perdagangan di suatu negara berangsur pulih. Dia memberi contoh pada China yang secara selektif menyaring impor yang masuk dengan kebijakan nontarif.
“Kondisinya bisa berubah ketika pandemi mulai menurun dan aktivitas perdagangan berangsur normal. Bisa jadi negara yang melonggarkan restriksi dagang berpikir inward looking lagi,” tambahnya.
Bhima juga berpendapat ekspor Indonesia yang sebelumnya terhambat kebijakan trade remedies dan berhasil diselamatkan dari pengenaan bea masuk tambahan belum tentu bisa pulih ekspornya. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi permintaan di negara tujuan ekspor, aalah satunya adalah kondisi industri di dalam negeri.
Baca Juga
“Misal untuk produk benang yang bebas dari bea masuk antidumping India. Perlu dilihat bagaimana situasi pabrik di sana. Tentu saat pandemi permintaannya terbatas,” kata dia.
Plt Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati menjelaskan terdapat beberapa produk yang bisa diakselerasi ekspornya ke negara tujuan karena beberapa negara pemasok masih dikenai bea masuk tambahan.
Dia memberi contoh pada produk viscose spun yarn, phenol, solar cell, fiber optic dan amonium nitrat ke India dan tinted float glass ke Filipina.
“Ekspor untuk produk-produk tersebut perlu didorong dan diakselerasi karena negara-negara pemasok utama produk dimaksud dikenakan bea masuk safeguard,” kata Pradnyawati.
Untuk penyelidikan antidumping dan antisubsidi, Pradnyawati mengatakan Kemendag berhasil meminimalisir tingkat bea masuk yang dikenakan sehingga produsen/eksportir Indonesia masih mampu melakukan ekspor.
Contohnya produk tiang kincir angin untuk pembangkit tenaga listrik (wind tower) ke Amerika Serikat yang melakukan penyelidikan antidumping dan antisubsidi pada 2019. Tetapi, tingkat pengenaan BMAD dan bea masuk imbalan (countervailing duties) yang dikenakan dapat ditekan seminimal.
“Hal ini tercapai berkat upaya pembelaan komprehensif yang dilakukan oleh Pemerintah RI bekerjasama dengan produsen dan eksportir sehingga ekspor masih dapat tetap berjalan hingga saat ini,” kata dia.