Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai wacana pajak karbon sebaiknya dilanjutkan usai pemulihan dari kondisi kasus Covid-19 yang belakangan sedang kembali melunjak akibat varian baru Delta.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan saat ini waktu yang tidak tepat jika pemerintah ingin mendiskusikan atau bahkan mengenakan pungutan pajak karbon. Pasalnya, lonjakan kasus saat ini belum bisa terprediksi dan pengetatan mobilitas kembali dilakukan oleh pemerintah.
"Saya pikir kita perlu melewati kondisi saat ini dulu tetapi setalah itu saya juga sepakat adanya pajak karbon," katanya kepada Bisnis, Senin (28/6/2021).
Menurut Faisal desain pajak karbon harus benar-benar disusun dengan baik mulai dari tingkat definisi. Pasalnya, kondisi setiap masyarakat dan badan usaha akan berbeda-beda.
Faisal mencontohkan dari definisi misalnya, pembukaan hutan yang sudah tentu akan meningkatkan karbon tentu sudah cukup jelas dipahami. Namun, kondisi penghasil karbon yang lebih tinggi atau lebih rendah harus diperjelas kembali agar tidak membuat perselisihan ke depannya.
"Jadi lebih baik fokus dahulu penanganan Covid-19 dengan tidak memberikan distraksi yang lebih urgent," ujarnya.
Sementara itu, Lembaga investasi Bahana Sekuritas pernah merilis estimasi pendapatan negara dari pajak karbon ini akan mencapai Rp26-53 triliun atau 0,2 persen hingga 0,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak sekitar US$5–US$10 per ton CO2 yang mencakup 60 persen emisi energi.
Adapun proyeksi emisi CO2 per sektor di Indonesia saat ini didominasi oleh industri (37 persen), listrik (27 persen), dan transportasi (27 persen), dengan emisi CO2 terkait energi mencapai 625 MtCO2 pada 2019.