Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengharapkan pemerintah dapat mengkaji ulang tarif pungutan ekspor untuk produk hilir.
Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo mengemukakan ekspor produk sawit Indonesia saat ini telah didominasi oleh produk hilir. Struktur produk hilir diperkirakan mencapai 70 persen dari total ekspor minyak sawit dan turunannya.
“Dengan adanya penurunan batas atas pungutan ekspor menjadi maksimal di US$175 memang dipandang memberikan daya saing yang lebih bagi CPO [produk hulu]. Namun yang perlu diingat bahwa produk ekspor sawit dari Indonesia mayoritas adalah produk turunan atau hasil pengolahan dengan volume sekitar lebih dari 70 persen dari total volume ekspor,” kata Bernard, Rabu (23/6/2021).
Bernard menilai rencana kenaikan tarif sebesar US$16 per ton untuk setiap kenaikan harga referensi US$50 per ton perlu disesuaikan lagi demi mengakomodasi investasi produk berorientasi ekspor. Dia menilai perbedaan tarif pungutan antara produk hulu dan hilir harus dipertahankan dan diperlebar.
“GIMNI mendorong agar lebih diturunkan untuk produk hilir agar mendukung kegiatan investasi produk-produk berbasis ekspor bernilai tambah. Kami menilai kenaikan tarif US$16 setiap kenaikan harga patokan ekspor $50 untuk produk turunan sebaiknya diturunkan, setidaknya di US$14 atau lebih rendah guna memberikan daya saing yang lebih bagai industri pengolahan turunan minyak sawit,” paparnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan periode 2011–2014 sekaligus ekonom pertanian dari IPB University Bayu Krisnamurthi memandang perbedaan batas atas pungutan ekspor dari sebelumnya US$995 menjadi US$1.000 tidak terlalu kentara.
Namun, dia tidak memungkiri tarif maksimal pungutan ekspor yang diubah dari US$225 per ton menjadi US$175 per ton akan memberi perbedaan bagi pelaku usaha.
“Perubahan ini tentu akan direspons oleh pasar dengan perhitungan dan negosiasi harga transaksi yang baru. Namun secara umum akan lebih meringankan pelaku usaha di rantai pasok sawit,” kata dia.
Adapun untuk potensi penerimaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) dari pungutan ekspor yang berisiko berkurang dengan penyesuaian tarif, Bayu menilai kemampuan pembiayaan tetap akan tergantung pada harga bahan bakar fosil serta pergerakan minyak sawit.
Dia mencatat terdapat sinyal koreksi harga kedelai dunia yang diikuti dengan penurunan harga minyak sawit. Di sisi lain, harga minyak mentah juga cenderung bergerak naik karena potensi naiknya permintaan. Dengan demikian, selisih harga antara minyak sawit dan minyak mentah yang menjadi acuan penyaluran subsidi biodiesel juga akan menyempit.
“Telah ada sinyal harga kedelai mulai terkoreksi karena produksi makin banyak dan ini perlu diantisipasi pelaku usaha sawit,” kata dia.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto berpandangan pungutan maksimal sebesar US$175 per ton akan menggerus harga tandan buah segar (TBS) di petani swadaya sebesar Rp400 per kilogram (kg). Jika diakumulasikan dengan produksi sebesar 1 ton per hektare lahan, maka petani berisiko kehilangan pendapatan sebesar Rp400.000.
“Dari segi pembiayaan juga tidak ada masalah karena tidak ada kebutuhan mendesak untuk B40. Terlebih program peremajaan jalan di tempat. Selain itu BPDP-KS surplus,” kata dia.