Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Skema PPN Multitarif Dinilai Bisa Timbulkan Masalah Baru

Skema pungutan PPN multitarif tidak akan mudah bagi wajib pajak (WP) dan pemerintah.
Gedung Kementerian Keuangan/kemenkeu.go.id
Gedung Kementerian Keuangan/kemenkeu.go.id

Bisnis.com, JAKARTA – Skema pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) multitarif dalam Revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) dinilai memiliki beberapa tantangan.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan bahwa skema pungutan PPN multitarif tidak akan mudah bagi wajib pajak (WP) dan pemerintah.

“Istilahnya membuka masalah baru. Kita, dulu sebelum 1987 sudah mempertimbangkan kenapa harus menggunakan single tarif,” katanya, Minggu (20/6/2021).

Menurutnya skema multitarif membuat pembukuan pajak dan faktur menjadi tidak sederhana. Akibatnya, malah menimbulkan kompleksitas bagi WP.

Masalah kedua, jelas Tauhid, akan terjadi kesulitan dalam audit pajak pertambahan nilai (PPN). Tarif berbeda membuat verifikasi persediaan, pembelian, dan penjualan membutuhkan sumber daya serta waktu yang besar.

Selain itu masalah ketiga adalah perlakuan berbeda antarkelompok barang akan menimbulkan sengketa pajak dan insentif. Pemerintah harus bekerja keras untuk mengelompokkan barang mana yang diberikan tarif pungutan tinggi dan rendah.

Selanjutnya, skema itu berpeluang meningkatkan restitusi yang lebih tinggi. Penyebabnya, skema multitarif akan membuat jumlah klaim pengembalian dana melonjak sehingga membebani administrasi perpajakan.

Terakhir, skema tersebut menimbulkan tekanan dan lobi dari kelompok industri. Akibatnya, jumlah barang yang seharusnya dikenai tarif lebih tinggi menjadi semakin sedikit. Implikasi terbesarnya justru penerimaan PPN akan jauh lebih berkurang.

“Kalangan industri mulai dari sekarang mencoba melakukan lobi. Kalau bisa produknya kena 0 persen atau maksimal 1 persen. Jangan sampai 5 persen atau bahkan 12 persen. Karena konsekuensi kenaikan PPN, maka harga akan naik. Kalau harga naik, volume penjualan akan turun dan keuntungan turun,” jelas Tauhid.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper