Bisnis.com, JAKARTA - Deregulasi melalui UU Cipta Kerja merupakan langkah nyata dalam melakukan harmonisasi regulasi. Regulasi ini diharapkan mampu mengatasi hiper-regulasi yang menggangu iklim investasi yang idealnya kondusif.
Sebagai tindak lanjut, sejumlah peraturan turunan, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Presiden (Perpres), diterbitkan pasca beleid ini sah.
Fakta problematiknya, temuan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menunjukkan bahwa 49 peraturan pelaksana Omnibus Law yang telah disahkan memuat 466 materi ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan delegasi lainnya.
Belum lagi amanat adaptasi regulasi turunan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Dengan demikian, potensi tumpang tindih dan obesitas regulasi berpotensi kembali terjadi apabila tidak ada orkestrasi harmonisasi pada proses legal drafting.
Perubahan tata laksana kewenangan secara otomatis berimplikasi pada implementasi pelayanan perizinan berusaha di daerah secara struktural. Sahnya peraturan turunan UU Cipta Kerja berdampak pada perubahan tatanan perizinan existing di daerah.
Dalam konteks kewenangan pemerintah daerah, terdapat dua peraturan turunan yang membutuhkan atensi khusus, yakni PP 6/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah (PPBD) dan PP 5/2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Resiko.
Baca Juga
Hal ini menjadi pekerjaan rumah mendesak mengingat adanya amanat adaptasi regulasi daerah dalam jangka waktu yang cukup singkat. Sinergitas lembaga legislatif (DPRD) dan eksekutif (kepala daerah) menjadi kunci penentu keberhasilan pelaksanaannya.
Sejumlah tantangan dan tindak lanjut yang imperatif mesti didukung guna memastikan implementasi dan daya efektivitas beleid tersebut di daerah.
Selanjutnya, pertanyaan reflektif atas tuntutan ini adalah sejauh mana penyesuaian itu dapat dikerjakan secara cepat dan tepat? Biaya mahal penyusunan Perda serta kerumitan pada tataran proses semestinya diperhitungkan untuk menuntut daya adaptasi pemda.
Proses politik dan dinamika dalam penyusunan produk hukum daerah amat beragam dan berbeda antar daerah. Komitmen Pemda seluruh Indonesia menjadi determinan pendukung atas keberhasilan orkestrasi ekosistem investasi daerah.
Upaya sinkronisasi pada tataran regulasi bergantung pada sinergitas dan kesepakatan bersama di level pemerintah pusat (kementerian/lembaga terkait). Pernyataan Presiden bahwa ‘tidak ada visi menteri, yang ada visi Presiden’ kini benar-benar diuji dalam proses orkestrasi perizinan berusaha di daerah.
Namun demikian menilik kondisi terkini, potensi obesitas regulasi masih bisa terjadi karena adanya ruang kewenangan menyusun peraturan kepala lembaga, misalnya dalam PP 5/2021.
Oleh karena itu, tuntutan agar Pemda berpikir dan bertindak secara adaptif semestinya diikuti langkah proaktif oleh pemerintah pusat untuk melakukan sosialisasi dan asistensi teknis.
Harmonisasi regulasi membutuhkan penyatuan dan kesamaan persepsi dalam membaca butiran pasal UU Cipta Kerja. Ibarat musik, harmoni hanya akan tercapai melalui kerja sama yang baik serta padu antara dirigen dan pemusik dalam menyajikan karya seninya.
Adapun mengenai platform perizinan, di level pusat terdapat beberapa platform kementerian yang terpisah satu sama lain. Sejauh ini sistem perizinan kementerian ternyata masih berjalan terpisah dengan Online Single Submission (OSS).
Kondisi demikian tentunya kontradiktif dengan semangat efisiensi prosedur yang digaungkan Omnibus Law. Demikian pula di daerah, terdapat pula platform perizinan yang dalam implementasinya lebih baik daripada OSS yang dimiliki secara nasional, contohnya JakEVO milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Mengantisipasi hal itu, upaya merger platform diharapkan mampu menghadirkan kepastian pada sisi prosedur, waktu, dan biaya agar tidak menimbulkan kegamangan bagi pelaku usaha di tingkat implementasinya.
Selanjutnya langkah orkestrasi dapat dilakukan melalui mekanisme sinkronisasi yang terstruktur, baik dari sisi pelaksana hingga metodologi. Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang didelegasikan ke kementerian idealnya tersinkronisasi dalam suatu sistem (repository) yang dibangun bersama lintas K/L.
Repository inilah yang nanti bisa diakses oleh pemangku kebijakan, sehingga meminimalisasi terjadinya tumpang tindih peraturan turunan.
Pada akhirnya orkestrasi ekosistem investasi daerah diharapkan mampu mengurai benang kusut perizinan berusaha di daerah secara komprehensif. Sinergitas lintas stakeholder (pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, dan akademisi) menjadi input yang baik menuju pencapaian cita-cita luhur bangsa: Indonesia Maju 2045.
Sosialisasi dan asistensi teknis Pemda menjadi rencana aksi yang harus segera digarap dalam orkestrasi ini. Jangan biarkan langkah maju orkestrasi ekosistem investasi daerah menjadi idiom tumpul dalam upaya peningkatan daya saing bangsa.