Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya Sugiarto mengatakan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja mengakibatkan tsunami regulasi karena menciptakan banyak aturan turunan tapi isinya belum jelas.
“Contohnya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mengakibatkan banyak wilayah kehilangan potensi retribusi. Dijanjikan oleh UU Cipta Kerja akan diberi insentif. Tapi insentif itu tidak jelas turunnya,” katanya saat diskusi dengan Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia yang disiarkan secara virtual, Senin (10/5/2021).
Kasus lainnya, terang Bima, adalah terkait Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/2021 tenang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Akan ada lagi turunan berbentuk keputusan presiden (kepres) soal proyek strategis nasional (PSN).
“Kita mendukung PSN. Tapi kan harus jelas pajaknya bagaimana, siapa saja yang kena pajak, dan berapa lama. Kalau belum jelas, pendapatan daerah lagi-lagi akan sangat berkurang,” jelasnya.
Itulah kenapa Apeksi mengkritisi Omnibus Law Cipta Kerja. Setidaknya, Bima mencatat beberapa poin yang menjadi perhatian bersama.
“Pertama, kita khawatir ada resentralisasi. Kedua, justru membuat hyper inflasi dan hyper regulasi karena justru aturan turunannya membuat ribet,” ucapnya.
Baca Juga
Hal ini tentu membuat beban tersendiri bagi kepala daerah. Bima menuturkan bahwa di sisi lain Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan ekonomi positif di tengah Covid-19.
“Kita jadi tambah khawatir karena awalnya Undang-Undang Cipta Kerja didesain untuk pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan investasi. Begitu ditargetkan recovery economy apalagi positif, ini tambah berat,” katanya.