Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah mempertimbangkan penerapan pajak karbon untuk membantu mendorong normalisasi anggaran pada 2023 dengan defisit yang harus kembali ke level 3 persen, juga sebagai upaya untuk mengurangi emisi.
Ekonom Bahana Sekuritas Raden Rami Ramdana, Satria Sambijantoro, dan Dwiwulan dalam laporannya menyampaikan bahwa di Indonesia, emisi CO2 per sektor didominasi oleh industri sebesar 37 persen, serta listrik dan transportasi 27 persen, dengan emisi CO2 terkait energi mencapai 625 MtCO2 di 2019.
Pengenaan tarif pajak karbon diusulkan sebesar US$5 hingga US$10 per ton CO2. Kisaran tarif tersebut dinilai masuk akal mengingat tarif yang lebih agresif di negara lain.
“Kami memperkirakan potensi penerimaan pajak karbon pada tahun pertama implementasi sekitar Rp29 triliun hingga Rp57 triliun atau 0,2-0,3 persen dari PDB, dengan asumsi tarif pajak sekitar US$5-10 per tCO2 yang mencakup 60 persen emisi energi,” tulis laporan tersebut yang dikutip Bisnis, Rabu (2/6/2021).
Dengan demikian, potensi pendapatan yang dihasilkan dari pengenaan tarif pajak karbon mungkin akan lebih besar jika dibandingkan dengan pajak perusahaan digital.
Kebijakan tersebut juga dinilai memiliki beberapa dampak positif, misalnya adanya pengurangan emisi karbon. Di sisi lain, kebijakan ini akan memiliki dampak negatif dalam jangka pendek bagi rumah tangga dalam bentuk harga energi.
Baca Juga
Berdasarkan perkiraan International Monetary Fund (IMF), jika Indonesia menerapkan pajak karbon sebesar US$75 per tCO2 secara menyeluruh, maka harga energi rata-rata akan meningkat cukup besar.
Peningkatan harga tersebut akan terjadi pada batu bara, gas alam, listrik, dan bensin, yang masing-masingnya akan meningkat sebesar 239 persen, 36 persen, 63 persen, dan 32 persen.