Bisnis.com, JAKARTA — Perkembangan bisnis ritel modern format supermarket dan minimarket diperkirakan tetap menghadapi kendala, meski nasibnya lebih baik dari pada ritel format hypermarket.
Regulasi terbaru yang dirilis Kementerian Perdagangan mengenai penataan pusat perbelanjaan dan toko swalayan menjadi salah satu faktor yang bisa menjadi penghambat.
Regulasi baru yang mengatur sektor ritel tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 23/2021 tentang Pedoman Pengembangan, Penataan, dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan. Beleid yang diundangkan pada 1 April 2021 itu sekaligus mencabut aturan pendahulunya yakni Permendag No. 56/2014.
Pengamat Ritel sekaligus Staf Ahli Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Yongky Susilo mengatakan terdapat beberapa aturan terbaru yang berpotensi mempengaruhi perkembangan ritel.
Salah satu aturan yang ia sorot adalah kewajiban penyediaan ruang usaha dan/atau ruang promosi untuk usaha mikro dan usaha kecil dan/atau pemasaran produk dalam negeri paling sedikit 30 persen dari total luas area pusat perbelanjaan. Sementara itu dalam regulasi terdahulu, terdapat kewajiban penyertaan ruang khusus untuk UMKM sebesar 20 persen di pusat perbelanjaan atau toko.
“Dalam implementasinya tidak seperti diharapkan. Contohnya di mal yang segmennya kelas menengah ke atas, jika ada kewajiban demikian justru UMKMnya tidak hidup karena belum menjadi preferensi konsumen di pusat belanja segmen tersebut,” kata Yongky, Kamis (27/5/2021).
Menurutnya, bentuk afirmasi terhadap UMKM tidak perlu dipatok dengan persentase yang rigid. Yongky mengatakan komitmen pelaku usaha untuk membangkitkan UMKM bisa diimplementasikan dengan kewajiban penyediaan ruang bagi UMKM di tempat strategis di pusat perbelanjaan atau toko.
“Jadi tidak perlu ada ketentuan berapa persen. Biarkan pengelola mengatur sedemikian rupa selama mengusung konsep cinta produk lokal dan berlokasi di tempat strategis,” kata dia.
Terdapat pula regulasi baru yang menyebutkan bahwa pelaku usaha hanya dapat memiliki paling banyak 150 gerai toko swalayan yang kepemilikan dan pengelolaannya dilakukan sendiri. Dalam hal pelaku usaha akan menambah gerai, pelaku usaha wajib mewaralabakan setiap gerai toko yang ditambah.
Sementara dalam aturan pendahulunya, penambahan gerai lebih dari 150 unit harus diikuti dengan kemitraan yang dijalin oleh pelaku usaha dengan UMKM.
“Kalau untuk merek ritel yang sudah besar, punya gerai banyak dan sudah bernama, mungkin tidak masalah dengan sistem ini. Namun bagaimana dengan toko yang sifatnya baru? Untuk mengejar penambahan gerai lebih dari 150 mereka harus menunggu franchise dulu,” paparnya.
Yongky berpandangan aturan terbaru sektor ritel ini tidak membawa semangat kemudahan investasi yang diusung lewat Omnibus Law. Selain itu, potensi sumbangan sektor ritel untuk pertumbuhan ekonomi nasional pun dia perkirakan tidak bisa sebesar harapan.
“Jika ingin tumbuh, pelaku usaha harus membuka toko. Kalau aturan begini, bagaimana mau buka? Harus menunggu franchising dulu,” kata Yongky.
Bisnis ritel modern nasional bisa dikatakan tengah menghadapi masa sulit sebagai efek pandemi. Hal ini setidaknya terlihat dari gelombang penutupan gerai yang berlanjut, terutama untuk toko berformat besar seperti hypermarket. Pelaku, kata Yongky, membutuhkan regulasi yang akomodatif dan mendukung iklim usaha untuk bisa kembali tumbuh.