Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) meminta agar Kementerian Perhubungan mengoptimalkan sarana angkutan perintis karena keberadaan transportasi tersebut dinilai sangat penting untuk membantu pengembangan ekonomi wilayah.
"Kemenhub harus gerak cepat menyediakan layanan transportasi umum berupa angkutan perintis," kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno kepada Bisnis, Senin (24/5/2021).
Menurutnya, sarana angkutan perintis dirancang untuk mengangkut orang dan barang. Saat ini, besaran subsidi angkutan perintis belum mencapai Rp200 miliar per tahun.
"Demikian pula angkutan pedesaan yang sudah punah. Angkutan perintis dapat menjadi pengganti pengembangan angkutan perdesaan," sebutnya.
Lebih lanjut, dia menyebut, dari 34 provinsi se-Indonesia, hanya 32 provinsi yang memiliki layanan angkutan bus perintis. Panjang jaringan jalan yang dilayani adalah 33.969 km dan dari sepanjang jalan itu sekitar 4.478 km (13,18 persen) dalam kondisi rusak.
"Provinsi Jateng [Jawa Tengah] paling sedikit memiliki layanan trayek angkutan bus perintis, hanya satu yakni rute Teluk Penyu—Nusawangi [53 km] di Kab. Cilacap," tuturnya.
Djoko menjelaskan, dasar hukum penyelenggaraan angkutan bus perintis adalah Permen No. 73/2019 tentang Pemberian Subsidi Pelayanan Angkutan Jalan Perintis.
Adapun, kriteria pemberian subsidi angkutan bus perintis adalah, pertama, menghubungkan wilayah terisolir, belum berkembang dan/atau wilayah perbatasan dengan kawasan perkotaan yang belum ada pelayanan angkutan umum dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kedua, menghubungkan wilayah perbatasan dan/atau wilayah lainnya yang karena pertimbangan aspek sosial politik harus dilayani
Ketiga, sebagai stabilisator pada suatu daerah/trayek tertentu dan/atau angkutan pelajar/mahasiswa dengan tarif yang lebih rendah dari tarif yang berlaku.
Keempat, melayani daerah-daerah potensial (daerah transmigrasi) dengan kawasan perkotaan.
Kelima, memberi pelayanan angkutan umum yang terjangkau oleh masyarakat yang daya belinya rendah.
"Di samping itu ada pertimbangan lain, seperti lokasi pelayanan adalah untuk menghubungkan antara daerah terisolir, terpencil dan tertinggal, tidak ada penyelenggaraan layanan transportasi lainnya dan secara aspek bisnis belum atau tidak menguntungkan," katanya.