Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemeja Produk Uniqlo Dilarang Masuk Pasar, Diduga Terkait Kerja Paksa Xinjiang

Dokumen bea cukai AS mencatat bahwa Uniqlo telah membantah dan memberikan bukti bahwa kapas mentah yang digunakan untuk memproduksi kemeja tersebut tidak berasal dari Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang.
Gerai Uniqlo/Fastretailing
Gerai Uniqlo/Fastretailing

Bisnis.com, JAKARTA - Badan bea cukai Amerika Serikat memblokir pengiriman kemeja Uniqlo Fast Retailing Co. pada Januari karena melanggar perintah yang melarang impor barang-barang yang diduga diproduksi oleh kerja paksa dari Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang milik negara China.

Blokir kemeja katun pria Uniqlo, yang terjadi di Pelabuhan Los Angeles, terungkap dalam dokumen Perlindungan Perbatasan dan Bea Cukai AS tertanggal 10 Mei di mana badan tersebut menolak banding oleh Uniqlo untuk melepaskan kemeja tersebut. Saham produsen pakaian jadi asal Jepang ini turun sebanyak 2,6 persen pada awal perdagangan Tokyo hari ini.

Uniqlo adalah merek utama pengecer pakaian terbesar di Asia, Fast Retailing, dan didirikan oleh orang terkaya di Jepang Tadashi Yanai. Dokumen bea cukai AS mencatat bahwa Uniqlo telah membantah dan memberikan bukti bahwa kapas mentah yang digunakan untuk memproduksi kemeja tersebut tidak berasal dari Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang.

Namun, Uniqlo gagal memberikan informasi yang cukup untuk memastikan barang-barang itu tidak diproduksi sebagian oleh kerja paksa di wilayah Xinjiang di China, menurut badan tersebut.

"Uniqlo kecewa dengan keputusan baru-baru ini dari badan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS," kata Fast Retailing dalam sebuah pernyataan, dilansir Bloomberg, Kamis (20/5/2021).

Perusahaan menambahkan bahwa pihaknya telah menyerahkan dokumen ke bea cukai AS yang menunjukkan produknya memenuhi semua persyaratan impor.

"Perusahaan memiliki mekanisme yang kuat untuk mengidentifikasi potensi pelanggaran hak asasi manusia dan pekerja," kata pernyataan itu.

Jika menemukan bukti kerja paksa atau pelanggaran hak asasi manusia lainnya pada pemasok, perusahaan berhenti berbisnis dengan pihak terkait.

Tidak jelas apakah AS telah memblokir pengiriman lain dari Uniqlo atau merek lain di bawah perintah yang dikeluarkan oleh administrasi Trump pada Desember.

Pencarian putusan sebelumnya dari bea cukai AS tidak menunjukkan dokumen lain terkait dengan tindakan baru-baru ini untuk melarang kapas Xinjiang.

AS, Uni Eropa, dan Inggris telah menjatuhkan sanksi pada pejabat dan barang China atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Uighur di Xinjiang, yang menurut pemerintah Biden merupakan genosida.

China menyangkal adanya kerja paksa, menyebutnya sebagai "kebohongan terbesar abad ini," dan mengatakan kebijakannya mengangkat wilayah itu keluar dari kemiskinan, meningkatkan ekonomi dan melawan ekstremisme.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian menegaskan bahwa kerja paksa tidak digunakan di Xinjiang dan menuduh AS melakukan penindasan.

"Bisnis yang relevan harus berdiri dan menentang perilaku AS yang tidak dapat dibenarkan," katanya dalam jumpa pers.

Produsen pakaian global telah terperangkap dalam kontroversi seputar kapas yang bersumber dari Xinjiang, dengan konsumen China memboikot merek asing yang mengkritik tindakan negara itu dan pemerintah Barat seperti AS menindak barang-barang yang bersumber dari wilayah tersebut.

Gejolak geopolitik telah menambah ketidakpastian bagi perusahaan pakaian jadi yang telah bertaruh pada China untuk mendorong pertumbuhan di masa depan.

Uniqlo belum menjadi target utama boikot di China dibandingkan dengan rival seperti Hennes & Mauritz AB. Yanai, yang juga CEO Fast Retailing, telah berulang kali menolak mengomentari Xinjiang, dengan mengatakan perusahaan tidak melibatkan dirinya dalam masalah politik.

Ada 47 toko Uniqlo di AS pada April. Fast Retailing memiliki sekitar 809 toko Uniqlo di China daratan, yang merupakan seperlima dari pendapatan perusahaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper