Bisnis.com, JAKARTA — Pengolahan sampah menjadi bahan bakar turunan sampah atau refused derived fuel (RDF) dinilai lebih efisien dibandingkan dengan membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa pengolahan sampah menjadi energi listrik yang tengah didorong oleh pemerintah tidak ekonomis dan membutuhkan biaya investasi yang cukup mahal.
Namun, persoalan sampah perkotaan yang terus menumpuk tidak bisa dibiarkan karena bisa mencemari lingkungan dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, perlu dipikirkan cara yang lebih efisien untuk mengelola sampah, salah satunya dengan mengubah sampah menjadi RDF.
RDF tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik semen dan pencampur atau co-firing batu bara pada PLTU milik PLN.
"Menurut saya tidak usah sampah dijadikan listrik. Ubah sampah jadi RDF, biayanya lebih murah karena investasinya bangun pabrik RDF. Pasarnya bisa pembangkit PLN, pabrik semen. Ini pilihan ke depan pengolahan sampah jadi listrik atau RDF," kata Fabby kepada Bisnis, Selasa (18/5/2021).
Menurutnya, tantangan dalam pengembangan PLTSa yang tengah didorong di 12 kota sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, terletak pada biaya investasinya yang masih mahal.
Dia mengatakan bahwa tidak semua daerah memiliki kapasitas fiskal yang cukup sehingga butuh bantuan dana dari pemerintah pusat untuk merealisasikannya.
Mahalnya ongkos investasi PLTSa tersebut juga mau tidak mau akan membuat harga listrik yang dihasilkan menjadi lebih mahal dibandingkan harga listrik dari energi lain.
Sesuai dengan Perpres Nomor 35 Tahun 2018, harga pembelian listrik oleh PLN dari PLTSa untuk kapasitas sampai dengan 20 megawatt (MW) ditetapkan sebesar US$13,35 sen per kWh.