Bisnis.com, JAKARTA — Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) meminta pemerintah lebih serius mencermati kebocoran impor dari data yang telah didapat. Hal itu menyusul keputusan Shopee menghentikan penjualan 13 produk impor.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan ada selisih perbedaan yang sangat jauh dari data produk impor yang masuk. Apabila pemerintah sudah mendapati angka potensi kerugian dari penjualan produk impor selama ini mencapai Rp300 triliun per tahun maka sudah dipastikan ada yang tidak benar.
"Kalau Pak Teten [Menteri Koperasi dan UMKM] bisa menyebut kerugian mencapai Rp300 triliun itu kan artinya sekitar US$21 miliar sedangkan impor tekstil dan garmen kita saja hanya US$8 miliar bahkan garmen tidak sampai US$3 miliar, berarti sisanya perlu dicermati," katanya kepada Bisnis, Rabu (19/5/2021).
Redma mengemukakan meski Shopee mengklaim share yang kecil untuk jumlah produk impor yang dipasarkan tetapi telah terbukti merusak harga pasar hingga mematikan produk lokal.
Meski demikian, Redma berharap Shopee hanya menutup produk yang dijual bukan lapak pedagangnya. Pasalnya, platform semacam Shopee terbukti penting untuk masyarakat menyerap hasil produksi industri apalagi dalam situasi pembatasan pandemi Covid-19 saat ini.
"Jadi ketika produknya saja yang ditutup, harapannya pelapak tetap bisa berjualan dengan mengganti dari produk-produk lokal," ujarnya.
Sisi lain, Redma memastikan saat ini industri TPT masih menunggu kepastian dirilisnya safeguard garmen serta mengharapkan pemerintah melakukan revisi untuk safeguard kain yang sudah ada saat ini.
Menurut Redma dalam safeguard kain pemerintah perlu memasukan Malaysia karena disinyalir ada transshipment di sana.
"Produksi kain Malaysia tidak banyak tetapi sepertinya transshipment satu jenis kain saja kenaikannya bisa 130 persen," kata Redma.