Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet memperkirakan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) tahun ini akan mencapai kisaran US$10 hingga US$15 miliar.
Menurut Yusuf, kondisi defisit transaksi berjalan pada tahun ini akan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pada komponen neraca barang, diperkirakan kembali mengalami defisit karena kembali menggeliatnya ekonomi.
Ekonomi yang membaik mendorong peningkatan impor, khususnya untuk kebutuhan bahan baku dan barang modal, meski di sisi lain, ekspor juga akan mengalami peningkatan dampak dari perbaikan ekonomi China dan perbaikan harga komoditas.
“Saya kira [peningkatan ekspor] belum bisa mengkompensasi kenaikan impor,” katanya kepada Bisnis, Senin (17/5/2021).
Sementara, menurutnya komponen neraca jasa juga akan mengalami defisit, khususnya pada komponen pembayaran jasa telekomunikasi, komputer, dan informasi.
Yusuf menyampaikan, kondisi ini di satu sisi menunjukkan perekonomian kembali berada pada jalur pemulihan. Namun di sisi lain, kondisi ini juga menunjukkan kerapuhan fundamental ekonomi Indonesia.
Baca Juga
“Misalnya, neraca barang tadi, kenaikan impor menunjukkan bahwa aktivitas perekonomian mulai bergeliat namun hal ini juga menunjukkan bahwa industri di dalam negeri masih sangat bergantung pada komponen bahan baku impor,” tuturnya.
Dia menjelaskan, kondisi ketergantungan impor tersebut memiliki konsekuensi. Jika mata uang mengalami pelemahan, biaya yang harus ditanggung pelaku usaha di dalam negeri akan menjadi lebih tinggi.
Yusuf menambahkan, surplus pada neraca pendapatan primer juga menunjukkan Indonesia bergantung pada investor dari luar negeri dan jenis investasi yang rentan terhadap gejolak ekonomi.
“Karena itu, jika terjadi gejolak ekonomi global sedikit saja, ini akan mempengaruhi sentimen investor dan bisa berdampak pada kondisi sudden capital outflow. Inilah yang dimaksud rapuhnya beberapa indikator belum kuatnya fundamental ekonomi di dalam negeri,” jelasnya.