Bisnis.com, JAKARTA -- Kegiatan adaptasi dan mitigasi dalam perubahan iklim menjadi faktor penting dalam upaya pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Pelaku usaha sebagai non-state actor juga berupaya menjadi bagian penting dalam proses ini. Kemampuan penghitungan potensi penurunan emisi menjadi krusial dilakukan oleh pelaku usaha dalam upaya mengukur kinerja adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Hal tersebut diungkap Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo pada pembukaan Pelatihan Penghitungan Potensi Penurunan Emisi dan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Penerbitan CER yang diselenggarakan APHI secara virtual bekerjasama dengan PT. GAIA Eko Daya Buana dan PT. Digdaya Citta Selaras pada Senin (03/05/2021).
Pelatihan yang berlangsung selama dua hari tersebut merupakan tindak lanjut dari Forum Dialog APHI dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang mengusung tema Strategi dan Aksi Mitigasi Sektor Kehutanan Untuk Pemenuhan Target NDC dan Pemanfaatan Nilai Ekonomi Karbon pada 26 April lalu.
“Pengukuran langsung oleh masing-masing unit manajemen penting dilakukan seiring dengan peluang untuk dapat memanfaatkan nilai ekonomi karbon baik melalui skema Result Based Payment maupun perdagangan karbon” kata Indroyono.
Dia memprediksi bahwa potensi penurunan emisi dari areal kerja hutan alam, hutan tanaman dan restorasi ekosistem sangatlah besar untuk dikontribusikan dalam pemenuhan pencapaian NDC Indonesia sebesar 497 juta ton CO2e pada 2030.
“Insentif nilai ekonomi karbon untuk penyerapan emisi karbon di wilayah hutan alam dan hutan tanaman dapat diperoleh melalui antara lain konservasi dan tata kelola lahan gambut, penerapan SILIN, penerapan Reduced Impact Logging (RIL), dan perpanjangan waktu tanam dan panen pada hutan tanaman industri, serta pengurangan areal tebangan pada hutan alam,” imbuh Indroyono.
Duta Besar Indonesia untuk Jerman Arief Havas Oegroseno menyambut baik Pelatihan Penghitungan Potensi Penurunan emisi Dan Nilai Ekonomi Karbon yang dilakukan APHI.
“Penghitungan ini bukan saja akan membantu Pemerintah dalam mencapai target NDC tetapi juga memunculkan bisnis baru di industri kehutanan,” jelas Arief Havas.
Ini juga menggarisbawahi perdagangan karbon merupakan trend dunia yang saat ini perlu direspon positif oleh Indonesia. Menurutnya, ada dua potensi pasar yang bisa digarap yaitu pasar domestik dan pasar internasional. Untuk Uni Eropa sendiri, masih dalam proses terus bertumbuh dan berpeluang maju sebagai leader.
Dia memaparkan untuk Asia masih didominasi oleh Jepang, China dan India. Bahkan Australia dan Selandia Baru juga tidak mau tertinggal dalam isu perdagangan karbon.
“Saya berharap Indonesia akan bersemangat menggarap potensi perdagangan karbon ini dengan menjadi pusat perdagangan karbon, dengan mengacu pada Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon yang sedang dalam proses penerbitan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Program GAIA Eko Daya Buana Joseph Adiguna Hutabarat menjelaskan pelatihan penghitungan karbon yang menggunakan pendekatan blended learning yang mengkombinasikan antara proses belajar secara mandiri dengan kelas interaktif secara live direncanakan akan diselenggarakan dalam 4 batch.
Tujuannya guna mempersiapkan sumber daya manusia unit manajemen, baik di hutan alam, hutan tanaman, maupun restorasi ekosistem agar dapat melakukan perhitungan penurunan emisi di areal kerjanya secara mandiri, sebagai basis pelaporan ke Sistem Registrasi Nasional dan penerbitan Certified Emissions Reduction (CER).
“Kontribusi sektor kehutanan dalam pemenuhan NDC Indonesia sebesar 17.2% sangat strategis sekali. Karenanya, pelatihan penghitungan karbon di areal kerja unit manajemen ini akan berdampak positif dalam memprediksi potensi penurunan emisi. Pelatihan tentunya akan membahas konsep, prinsip dasar CER serta menghitung estimasi awal potensi reduksi emisi,” kata Joseph.