Bisnis, JAKARTA - Berkat PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia, Korea Selatan menduduki posisi ketiga terbesar dalam aliran penanaman modal asing (PMA) ke Indonesia pada kuartal I/2021. Realisasi itu tercapai di tengah implementasi New Southern Policy yang diinisiasi Presiden Korsel Moon Jae-in.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat PMA yang direalisasikan pada 3 bulan pertama 2021 mencapai Rp111,7 triliun. Secara tahunan, PMA tumbuh 13,97% dari capaian Rp98 triliun pada kuartal I/2020.
PMA terbesar berasal dari Singapura senilai US$2,6 miliar. Posisi kedua ditempati oleh China dengan realisasi PMA sebesar US$1 miliar.
Sementara itu, Korea Selatan menjadi negara dengan aliran PMA terbesar ketiga sebesar US$851,1 juta. Disusul, Hong Kong dan Swiss dengan realisasi PMA masing-masing US$800 juta dan US$500 juta sepanjang Januari-Maret 2021.
Bahkan, Korea Selatan dan Swiss mengungguli Amerika Serikat yang ada di urutan keenam dengan nilai PMA US$447,1 juta dan Jepang di posisi selanjutnya dengan PMA sebesar US$322,7 juta.
Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi merangkap Kepala BKPM, menuturkan Korea Selatan biasanya menempati posisi 5 atau 6 dalam daftar negara asal PMA terbesar ke Indonesia.
"Korea Selatan ini sekarang menggeser Hong Kong. Ini salah satu di antaranya adalah pembangunan pabrik Hyundai," ujarnya dalam konferensi pers realisasi investasi kuartal I/2021, Senin (26/4/2021).
Apabila ditilik lebih dalam, investasi asal Korea Selatan pada kuartal I/2021 didominasi oleh lima sektor utama. Sektor tersebut, yakni industri kendaraan bermotor dan alat transportasi lain senilai US$526,2 juta, serta sektor listrik, gas, dan air US$84,4 juta.
Selain itu, sektor industri tekstil US$71,4 juta, industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya US$65,9 juta, serta industri barang dari kulit dan alas kaki US$51,5 juta.
Bahlil menambahkan PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia berencana untuk mengucurkan investasi senilai total US$1,55 miliar untuk membangun hub manufaktur pertama di Asia Tenggara. Dengan asumsi kurs Rp14.500 per dolar AS, nilai investasi Hyundai itu mencapai sekitar Rp22,47 triliun.
Merujuk data BKPM, lanjut Bahlil, Hyundai sudah merealisasikan investasi sekitar Rp13 triliun-Rp14 triliun sejak memulai proyek tersebut pada 2019. Nantinya, Hyundai juga mengeksplorasi produksi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) kelas dunia di fasilitas produksi di Indonesia.
"Ini menunjukkan investasi perusahaan Korea Selatan berjalan dengan baik. Pada Maret atau April 2022 sudah mulai produksi," imbuh mantan Ketua Umum Kadin Indonesia itu.
Dalam melayani investasi, Bahlil menegaskan Indonesia tidak membeda-bedakan asal negara PMA. Alasannya, Indonesia menganut asas politik ekonomi bebas aktif sehingga semua negara punya kesempatan yang sama.
Menurutnya, geliat PMA yang positif pada awal tahun ini mencerminkan kepercayaan investor global terhadap Indonesia.
"Secara kebetulan, mungkin Korea Selatan dan Swiss daya dorongnya paten punya. Bukan berarti yang selama ini di lima besar itu-itu saja, ini dinamis," pungkasnya.
Selain Hyundai, tentu sederet nama investor lain asal Korea Selatan yang sudah mengucurkan modal ke Indonesia. Dalam 2 tahun terakhir, total proyek PMA asal Negeri Ginseng tercatat sebanyak 2.952 proyek pada 2019 dan 5.468 proyek pada 2020.
Di tengah pandemi Covid-19 pada tahun lalu, investor Korea Selatan justru lebih gencar mengalirkan PMA. Nilainya pun naik signifikan 71,96% dari US$1,07 miliar pada 2019 menjadi US$1,84 miliar pada tahun lalu.
Investasi Portofolio
Aliran modal investor asal Korea Selatan tidak hanya dalam bentuk PMA. Portofolio investment juga mengalir cukup deras ke perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Teranyar, perusahaan platform daring raksasa dari Korea Selatan, Naver Corp. menanamkan modal US$150 juta atau sekitar Rp2,17 triliun ke dalam PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK).
Masuknya Naver sebagai investor anyar EMTK dilakukan lewat pembelian saham baru yang diterbitkan lewat skema private placement pada 30 Maret 2021.
"Melalui kemitraan strategis dengan Emtek, kami akan menciptakan sinergi di berbagai bidang. Bersama dedngan mitra kami di Asia Tenggara, Naver akan membawa model bisnis Asia ke panggung global," kata Kepala Pengembangan Perusahaan dan Investasi Naver Lee Jung-an dalam keterangan resminya.
Sebelum menggenggam saham EMTK, salah satu sumber Bloomberg pada Januari lalu menyebutkan bahwa Naver Corp. dan Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund selangkah lagi menandatangani kesepakatan untuk pendanaan tambahan ke PT Bukalapak.com. Unikorn e-commerce Indonesia itu juga terafiliasi dengan EMTK.
Menurut Kepala Divisi Keuangan Naver Corp. Park Sang-jin, Naver juga sedang mencari lebih banyak peluang untuk berinvestasi dan berekspansi di luar Korea Selatan. Negara yang dituju, antara lain Jepang, Eropa, Asia Tenggara, dan Taiwan.
Selain induk usaha Line itu, modal jumbo dialirkan oleh bank asal Korea Selatan KB Kookmin Bank ke PT Bank Bukopin Tbk. (BBKP) pada akhir 2020. Tak tanggung-tanggung, dana senilai US$1,07 miliar atau sekitar Rp15,52 triliun disuntik KB Kookmin demi mengambil posisi sebagai pemegang saham pengendali BBKP dengan porsi kepemilikan saham sebesar 67%.
KB Kookmin Bank merupakan salah satu bank komersial dengan aset terbesar di Korea Selatan. Hingga akhir 2020, total asetnya mencapai 438,4 triliun won atau setara dengan Rp5.699,2 triliun.
Berdasarkan catatan Bisnis, Presiden Direktur KB Kookmin Bank Heo In mengatakan Bank KB Bukopin ditargetkan masuk 10 besar bank ritel di Indonesia. Untuk itu, BBKP bakal mulai melebarkan sayapnya dengan menambahkan layanan perbankan, seperti manajemen risiko dan keuangan digital yang bertujuan untuk merancang masa depan keuangan digital dan memperkuat kepercayaan nasabah setianya di Indonesia.
Layanan tersebut di antaranya kerja sama antar afiliasi, seperti KB Securities, KB Insurance, KB Kookmin Card dan KB Capital yang sebelumnya telah masuk ke pasar Asia Tenggara lebih dulu.
New Southern Policy
Aliran investasi yang makin agresif dari perusahaan asal Korea Selatan ke Indonesia terjadi di tengah implementasi kebijakan New Southern Policy (NSP) Korea Selatan.
Sejak November 2017, Pemerintah Korea Selatan yang dipimpin Presiden Moon Jae-in meluncurkan inisiatif The New Southern Policy (NSP). Kebijakan luar negeri itu membuka babak baru relasi Korea Selatan dengan negara-negara Asean dan India.
Head of The Center for Asean-India in Korea National Diplomatic Academy (KNDA) Choe Wongi menilai NSP merepresentasikan ambisi middle power Korea Selatan untuk mencari otonomi strategis yang lebih besar di kancah global.
"Seoul terus mendorong diversifikasi relasi ekonomi ke luar Korea Selatan, melakukan reorientasi diplomatik ke Asia Tenggara dan sekitaranya dan mempromosikan kerja sama regional yang aktif," tuturnya dalam workshop "Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea" yang dilaksanakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation Jakarta, baru-baru ini.
Choe menyebut NSP sebagai jurus Korea Selatan untuk melakukan diversifikasi dan mengurangi ketergantungan terhadap empat negara superpower, yaitu Amerika Selatan, Jepang, China, dan Rusia. Apalagi, China berkontribusi sekitar 27% terhadap total perdagangan internasional Negeri Kimchi itu.
NSP memiliki tiga kebijakan kunci yang terdiri atas diversifikasi ekonomi, keseimbangan diplomatik, dan kooperasi regional. Kebijakan kunci itu mencakup pilar pembangunan manusia, kesejahteraan, dan perdamaian.
"Asean merupakan regional yang sangat dinamis dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan potensi yang besar untuk berkembang. NSP membuka jalan bagi Korea Selatan untuk mengurangi ketergantungan terhadap AS dan China yang sedang berselisih," imbuhnya.
Choe mengakui realisasi investasi perusahaan Korea Selatan di luar negeri merupakan keputusan bisnis. Namun, negara-negara di Asean mulai dilirik dalam konteks relokasi usaha.
Dia mencontohkan ketegangan AS-China pada 2019 dan pandemi Covid-19 yang bermula di Negeri Panda membuat sejumlah perusahaan Korea Selatan melakukan diversifikasi rantai pasok ke Asean. Menurutnya, negara Asean yang banyak dituju oleh usaha kecil dan menengah (UKM) Korea Selatan untuk relokasi bisnis ialah Vietnam.
Park Tae Sung, Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, menyebut Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asean dan mitra kunci dalam NSP.
"Kemitraan Korea Selatan dengan Indonesia terjalin dengan solid lewat perdagangan, investasi, industri, hingga pertukaran budaya dan nilai. Ke depan, ruang kolaborasi masih sangat terbuka untuk meningkatkan relasi kedua negara," ujarnya.
Direktur Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri Santo Darmosumarto menyebut NSP membuka pintu kesempatan bagi Indonesia. Salah satunya melalui Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA).
Pada 18 Desember 2020, IK-CEPA sudah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan RI Agus Suparmanto dan Menteri Perdagangan, Industri, dan Energi Korea Selatan Sung Yun-mo. Penandatanganan itu disaksikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in.
"IK-CEPA punya level yang lebih tinggi dalam liberalisasi perdagangan dibandingkan dengan AKFTA," kata Santo.
Menurutnya, IK-CEPA meningkatkan kerja sama dan transparansi di berbagai area untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi. Selain itu, IK-CEPA juga menyediakan kerangka untuk kerja sama bilateral yang lebih komprehensif.
Santo menyebut beberapa sektor yang memiliki potensi investasi besar ialah otomotif, nikel, kimia, farmasi, dan energi terbarukan. Selain itu, area research and development (R&D), program pekerja migran, serta industri keamanan dan pertahanan juga disebut potensial.
Dengan IK-CEPA, imbuhnya, iklim investasi Indonesia akan meningkat, khususnya dalam bidang perlindungan investor dan perlakuan yang tidak diskriminatif.
Realisasi investasi Hyundai, misalnya, dinilai Santo menarik untuk dicermati di tengah keputusan Mazda untuk angkat kaki dari Indonesia. Selain Hyundai, LG Chem juga dikabarkan bakal menggelontorkan investasi jumbo untuk membangun basis produksi ekosistem EV di Indonesia.
Santo menilai minat pelaku usaha Korea Selatan untuk investasi di Indonesia terus meningkat. Hal itu juga sejalan dengan respons positif pemerintah dan pelaku bisnis Korea Selatan terhadap reformasi regulasi di Indonesia yang tertuang dalam omnibus law UU Cipta Kerja.
"Kita harus melihat Korea lebih dari sekadar K-pop dan K-drama dan Korea dapat melihat Indonesia lebih dari sekadar pasar untuk produk-produk mereka."
Secara terpisah, Kepala Departemen Ekonomi Central for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan tanpa keputusan bisnis swasta, NSP hanya terbatas pada program kerja sama antarpemerintah Korea Selatan dan Indonesia, seperti integrasi ekonomi dan transformasi digital.
"Yang punya impact itu swasta, ketika dunia usaha Korea Selatan meningkatkan aktivitas di Asean, terutama Indonesia," ujarnya ketika dihubungi Bisnis.
Dalam mengambil keputusan investasi dan kolaborasi bisnis, lanjutnya, swasta memiliki horizon waktu jangka panjang. Tak hanya orientasi profit, tetapi juga kepastian rantai pasok, pasar, hingga perizinan dan regulasi.
Sejalan dengan NSP dan IK-CEPA, lanjutnya, Indonesia didorong untuk terus memperbaiki kondisi internal agar makin menarik di mata investor dan pelaku bisnis asal Korea Selatan.