Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Perlu Reformasi untuk Pacu Industri Mamin dengan Australia

Kerja sama di industri makanan dan minuman bisa menjadi peluang karena produk di kelompok ini menempati peringkat kedua ekspor terbesar Indonesia setelah produk tambang.
Ilustrasi Indonesia Australia - Dok. Antara
Ilustrasi Indonesia Australia - Dok. Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia harus melakukan reformasi untuk mengakomodasi terbentuknya rantai nilai pada industri makanan dan minuman melalui Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA).

Sejumlah hambatan dinilai mengakibatkan relasi kedua negara belum optimal selama ini. 

Ekonom Australian National University sekaligus Anggota Dewan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arianto Patunru mengemukakan kehadiran IA-CEPA memang mengeliminasi hambatan tarif yang menyertai perdagangan komoditas untuk kebutuhan industri makanan dan minuman.

Namun, hilangnya hambatan tarif ini bisa saja menjadi masalah jika diganti dengan hambatan nontarif.

“Masih ada pekerjaan rumah [untuk mengurangi hambatan nontarif]. Sejauh ini proteksi terhadap produk makanan termasuk tertinggi kedua setelah komoditas pangan [food crops],” kata Arianto dalam diskusi daring, Rabu (14/4/2021).

Selain memastikan tidak ada hambatan nontarif yang mendisrupsi rantai pasok, Arianto menyebutkan Indonesia memiliki lebih banyak regulasi dan prosedur yang tidak sesuai dengan kesepakatan (non-conforming measures). Membenahi kendala-kendala tersebut, diakuinya bisa membawa keuntungan bagi industri pengolahan.

“Indonesia juga sedang menjalankan reformasi melalui Omnibus Law. Memang ada tantangan dalam implementasi regulasi ini, tetapi secara umum tujuannya untuk mempermudah prosedur bisnis di Indonesia,” lanjutnya.

Meski bertetangga, hubungan antara Indonesia dan Australia disebutnya belum dieksploitasi secara optimal. Nilai perdagangan antara kedua negara baru mencakup 3 persen dari total perdagangan dan investasi kurang dari 2 persen.

Kondisi ini tidak lepas dari karakteristik perdagangan kedua negara yang hampir mirip di mana 30 persen ekspor Indonesia didominasi oleh komoditas alam seperti minyak sawit, batu bara, serta minyak dan gas. Sementara lebih dari 50 persen ekspor Australia disumbang oleh batu bara, bijih besi, gas, dan emas.

Arianto menyebutkan potensi hubungan yang lebih dalam antara kedua negara bisa dicapai dengan mengeksplorasi dan mengeksploitasi aktivitas yang saling melengkapi. Dengan demikian, konsep kerja sama ekonomi yang ideal adalah dalam bentuk economic powerhouse alih-alih ekspor dan impor tradisional.

Kerja sama di industri makanan dan minuman bisa menjadi peluang karena produk di kelompok ini menempati peringkat kedua ekspor terbesar Indonesia setelah produk tambang. Pada saat yang sama, Indonesia masih memerlukan sejumlah bahan baku yang belum bisa dipenuhi lewat pasokan dalam negeri.

Arianto mencatat kontribusi bahan baku dari luar negeri untuk produk makanan yang diekspor Indonesia dan Australia terbilang masih rendah, yakni 4 persen dan 12 persen. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 24 persen dan Taiwan sebesar 35 persen.

“Hal ini memberi tanda adanya kesempatan besar untuk bekerjasama. Namun pada saat yang sama Indonesia dan Australia perlu banyak mengejar ketertinggalan dalam mencapai rantai nilai global,” kata dia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper