Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha menilai fasilitas pembebasan tarif ekspor ke Australia di bawah payung Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang sepi peminat adalah hal lumrah.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani menjelaskan manfaat dari kehadiran kerja sama komprehensif ini disebut baru bisa dirasakan RI dalam jangka menengah dan panjang.
“Semua perjanjian dagang pasti akan membutuhkan penyesuaian di dalam negeri dan penyesuaian untuk mempelajari bagaimana menggunakan manfaat. Kami kira cukup wajar jika fasilitas Asean-Australia-New Zealand FTA lebih banyak dipakai [dibandingkan dengan IA-CEPA],” kata Shinta, Selasa (23/3/2021).
Kementerian Perdagangan (Kemendag) melaporkan utilisasi fasilitas ekspor ke Australia baru mencapai US$23 juta. Pelaku usaha disebut lebih banyak memanfaatkan skema ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) yang pembebasan tarifnya mencakup 90 persen pos tarif Australia. Sementara lewat IA-CEPA, Australia mengeliminasi bea masuk untuk seluruh pos tarif mereka.
Shinta mengatakan utilisasi yang belum optimal juga disebabkan oleh implementasi IA-CEPA di tengah pandemi. Selain itu, dia mengatakan pasar Australia merupakan pasar dengan standar unik dan terkadang lebih tinggi dari standar internasional, khususnya terkait standar sanitary and phytosanitary (SPS).
“Saat ini eksportir yang paling agresif untuk masuk ke pasar Australia justru adalah sektor makanan dan minuman yang wajib memenuhi standar SPS dulu sebelum bisa dipasarkan di pasar tujuan, sehingga tentu butuh penyesuaian standar produksi di Indonesia agar comply,” ujarnya.
Baca Juga
Secara umum, Shinta mengatakan pelaku usaha memerlukan edukasi dan asistensi agar bisa memanfaatkan IA-CEPA. Kerja sama yang lebih komprehensif ini bakal membuka akses pasar yang lebih luas dibandingkan dengan AANZFTA.