Bisnis.com, JAKARTA - Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket mengatakan Komisi Uni Eropa sedang meninjau ulang kebijakan RED II dan hasilnya akan dipublikasikan pada Juni 2021.
Peninjauan ulang tersebut dengan melakukan penelitian ilmiah yang ektensif khususnya untuk komoditas minyak sawit sebagai bagian dari Green Deal. Vincent meyakinkan bahwa dampak terdapak industri minyak sawit ataupun minyak nabati lainnya akan didasarkan pada penilaian yang adil berbasis ilmiah.
RED II merupakan hasil amandemen dari kebijakan sebelumnya memiliki kriteria keberlanjutan yang salah satunya mengatur perhitungan emisi gas rumah kaca pada perubahan penggunaan lahan secara langsung. Amandemen ini mengecualikan sawit karena dianggap berisiko tinggi menyebabkan deforestasi. Padahal penelitian Union of Concervation of Nature (IUCN) menyatakan sawit sembilan kali lebih efisien dalam penggunaan lahan.
“Tidak akan ada pelarangan impor minyak sawit atau biofuel. Tidak sekarang, tidak pada 2023 bahkan di 2030,” ujar Vincent saat mengisi materi webinar seperti dikutip dari keterangan pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Sabtu (3/4/2021).
Perundingan terus berlangsung, baik antarnegara maupun tingkat kawasan. Indonesia maupun Uni Eropa mendorong kerja sama yang dilakukan secara bilateral maupun multilateral serta mengharapkan adanya standar yang adil untuk semua minyak nabati.
“Seluruh minyak nabati di dunia harus memiliki standar pendekatan yang sama dan diakui PBB yakni dengan berbasis Sustainable Development Goals, bukan satu atau dua indikator yang dikarang-karang, tidak diakui dunia dan tidak akademis,” kata Wakil Mentri Luar Negeri Mahendra Siregar.
Baca Juga
Ketua Bidang Luar Negeri Gapki Fadhil Hasan sejumlah standar keberlanjutan yang disyaratkan ke sawit tidak akan terlalu berdampak pada posisi komoditas ini di pasar global. Fadhil mengatakan pelaku usaha juga mampu beradaptasi melalui berbagai sertifikasi, mulai dari sertifikasi yang dimiliki oleh pasar seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun negara yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Selain itu, Indonesia juga memiliki leverage tinggi serta pasar terbesar di ASEAN. Menguasai Setengah dari populasi di wilayah ASEAN, menjadikan Indonesia sebagai regional leader sehingga berpengaruh berpengaruh bagi perekonomian dunia. Hal ini menjadi bargaining power dalam perundingan bilateral maupun multilateral,” ujar Fadhil Hasan.
Fadhil Hasan menyoroti pendekatan diplomasi trade and sustainable development (TSD) yang digunakan dalam perundingan. Menurutnya, penting untuk meninjau kembali perjanjian perdagangan sehingga mampu untuk mengakomodasi seluruh kepentingan kedua blok, terutama pada perjanjian Comperhensive Economic Partnership Agreement (CEPA) untuk menghindari regulasi lain diluar daripada yang telah diatur dalam CEPA karena akan menjadi hambatan dagang lainnya.