Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha melihat adanya tren kelanjutan kenaikan ekspor pada semua jenis produk pada kuartal I 2021 melanjutkan perbaikan permintaan pada kuartal IV 2020.
Hanya saja, terdapat sejumlah kendala yang dikhawatirkan bakal menghalangi prospek positif ini.
Wakil Ketua Umum bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani mengemukakan kenaikan permintaan sejak kuartal IV 2020 terlihat pada komoditas pertanian seperti karet dan minyak sawit (CPO), produk konsumsi seperti udang-udangan, alas kaki, garmen, dan produk manufaktur seperti besi baja dan elektronik.
“Kami ekspektasikan peningkatannya akan lebih merata di semua komoditas sepanjang kuartal I 2021 karena produk-produk yang selama ini kita ekspor seperti alat kesehatan, tekstil, dan bedding untuk penanganan Covid-19 juga masih akan tetap tinggi permintaannya karena pandemi belum berakhir,” kata Shinta, Jumat (2/4/2021).
Namun, Shinta mengemukakan kemampuan industri untuk mengimbangi naiknya permintaan akan sangat bergantung pada sejumlah faktor. Pandemi yang masih berlangsung dia akui belum bisa mengembalikan kinerja ke level sebelum pandemi meskipun vaksinasi memungkinkan pemulihan yang lebih cepat.
“Tanpa muncul kembalinya pandemi pun sebetulnya kinerja belum bisa maksimal karena protokol pandemi masih menekan laju produksi di bawah laju prapandemi. Belum lagi kalau kita memperhitungkan hambatan logistik di tingkat nasional. Jadi pengendalian pandemi dan protokolnya masih menjadi faktor penghambat terbesar,” kata dia.
Penghambat selanjutnya adalah masalah logistik perdagangan antarnegara. Shinta mengatakan krisis kontainer dan harga logistik perdagangan yang tinggi masih dirasakan.
Hal ini bisa saja tak menjadi masalah bagi perusahaan besar yang mengekspor produk mentah, tetapi bisa menjadi masalah besar bagi perusahaan yang mengekspor produk manufaktur karena harga bahan baku impor bisa lebih tinggi.
“Karena bahan bakunya jadi mahal, belum tentu bisa bersaing di pasar global meskipun permintaannya naik,” lanjutnya.
Survei oleh IHS Markit mengenai PMI manufaktur Indonesia pada Maret juga mengemukakan bahwa harga bahan baku yang lebih tinggi dan disrupsi logistik telah mengakibatkan biaya produksi menjadi makin besar.
Demi menyiasati hal ini, perusahaan memilih untuk menaikkan harga produk meski dengan persentase yang lebih rendah dibandingkan dengan besaran kenaikan biaya input.