Bisnis.com, JAKARTA – Sawit menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor nasional yang menghadapi banyak kendala.
Upaya untuk menangkal hambatan tarif dan nontarif masih terus diupayakan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk menjaga kinerja perdagangan produk perkebunan ini.
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Asep Asmara menjelaskan Uni Eropa menjadi salah satu kawasan dengan restriksi sawit yang paling beragam.
Selain kriteria keberlanjutan yang tertuang dalam kebijakan Renewable Energy Directive (RED II) yang berimbas ke hambatan pada produk biodiesel Indonesia, terdapat pula kebijakan-kebijakan lain yang berdampak pada komoditas ini.
Salah satunya adalah penghapusan insentif pajak produk biofuel dari sawit yang diberlakukan oleh Prancis pada 2018. Peraturan tersebut menetapkan bahwa minyak sawit tidak tergolong dalam produk biofuel sehingga tidak mendapatkan fasilitas insentif pajak yang telah ditetapkan.
Terdapat pula kebijakan batas kontaminan 3-monochloropro-pandiol ester (3-MCPD Ester) sebesar 2,5 ppm dan glycidol ester (GE) maksimal 1 ppm yang diadopsi negara-negara Uni Eropa. Aturan ini lantas menghambat perdagangan minyak sawit yang memiliki kandungan 3-MCPD di atas 3 ppm.
Baca Juga
“Ada pula penetapan bea masuk antisubsidi terhadap biodiesel Indonesia dengan besara 8 sampai 18 persen sejak 10 Desember 2019,” kata Asep dalam diskusi Ina Palm Oil yang digelar oleh Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Rabu (31/3/2021).
Asep juga memaparkan adanya kebijakan pelabelan di Uni Eropa yang merugikan produk sawit. Di antaranya label ‘0% palm oil’ pada produk cokelat di Belgia, larangan pasokan barang berbahan minyak sawit oleh sejumlah supermarket di Belanda, dan pembatasan penggunaan minyak sawit untuk produk yang dipasarkan melalui jaringan ritel Carrefour di Prancis.
“Selain itu ada juga isu tenaga kerja di inggris, isu kesehatan di Australia dan Pakistan, dan di India ada hambatan tarif,” imbuhnya.
Asep mengatakan sejumlah upaya telah ditempuh Kementerian Perdagangan demi menjaga akses minyak sawit dan turunannya. Salah satu yang dilakukan adalah mengupayakan pengurangan hambatan tarif dan nontarif di negara tujuan melalui perundingan bilateral, regional, maupun bilateral.
Selain itu, upaya untuk melakukan ekspor langsung juga ditempuh, seperti ekspor minyak goreng kemasan ke Afrika yang dilakukan lewat proses pengolahan oleh industri di Timur Tengah.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan kebijakan terhadap minyak nabati seharusnya dilakukan secara adil dan tidak hanya menyasar pada minyak sawit.
Dalam hal standardisasi misalnya, dia mencatat produk minyak sawit menjadi yang paling banyak menjadi sasaran regulasi dibandingkan dengan minyak nabati lain.
“Sejak 1995 ada hampir 700 sertifikasi dan standar yang dikembangkan dan diimplementasikan di minyak sawit, padahal untuk rapeseed, sunflower, dan soybean oil hanya sekitar 30 dalam kurun yang sama,” kata Mahendra.
Aspek lingkungan hidup yang kerap disematkan dalam standar minyak sawit pun disebut Mahendra perlu dipertanyakan. Dia mengatakan pendekatan lingkungan tidak bisa hanya melihat apakah kegiatan pertanian menyebabkan deforestasi atau tidak, tetapi juga perlu melihat aspek lain seperti dampaknya terhadap keragaman biodiversitas dan tingkat polusi.
“Pendekatan soal lingkungan hidup harus memperhitungkan kegiatan lain yang berdampak ke lingkungan hidup dan biodiversity disandingkan, tak hanya deforestasi. Studi menunjukkan perkebunan minyak rapa dan soya secara gamblang menyebabkan polusi yang luar biasa dari penggunaan pestisida dan pupuk anorganik yang merusak lingkungan,” kata dia.