Bisnis.com, JAKARTA -- Pelaku usaha sawit melihat adanya peluang pengakuan sertifikasi sawit Indonesia jika kerja sama perdagangan Indonesia dengan mitra dagangnya terjalin.
Pengakuan tersebut disebut bisa menjadi jaminan akses pasar di tengah berkembangnya hambatan nontarif yang menyasar industri sawit.
“Kehadiran FTA [kesepakatan perdagangan bebas] dan CEPA [kesepakatan kemitraan ekonomi komprehensif] akan sangat mendukung sertifikasi minyak sawit untuk diakui oleh mitra dagang, terutama yang sifatnya wajib seperti ISPO [Indonesia Sustainable Palm]. Kalau diakui akan mengurangi birokrasi dan akan membuka pasar dan mengurangi biaya ekspor,” kata Ketua Bidang Hubungan Internasional Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan dalam diskusi daring, Rabu (31/3/2021).
Fadhil menyebutkan sejumlah pelaku usaha telah mengupayakan sertifikasi sawit agar sesuai dengan permintaan pasar. Dalam sejumlah kasus, pelaku usaha bahkan memakai lebih dari satu sertifikasi seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan ISPO secara bersamaan.
Meski demikian, Fadhil mengatakan prospek pasar untuk sawit masih terbuka untuk masa mendatang seiring dengan disepakatinya kesepakatan perdagangan dengan negara-negara Eropa, di antaranya adalah Indonesia-EFTA CEPA yang telah diratifikasi dan Indonesia-EU CEPA yang telah memasuki perundingan putaran ke-10.
“Pasar Uni Eropa sangat penting. Kawasan ini menempati peringkat ketiga tujuan ekspor terbesar dengan importir terbesar adalah Spanyol, Belanda, dan Italia,” kata dia.
Adapun saat ini pertumbuhan ekspor ke pasar Eropa dia sebut cenderung melambat dan landai dibandingkan dengan negara dan kawasan lain dalam lima tahun terakhir akibat sejumlah hambatan. Meski demikian, volume ekspor dia sebut terus bertambah sebagai refleksi dari naiknya permintaan.
“Pasar utama kebanyakan hanya membutuhkan sawit untuk pangan, ini pilihan yang menyesuaikan kondisi konsumen di sana,” kata Fadhil.