Bisnis.com, JAKARTA — Kemitraan strategisantara Asean dan Uni Eropa (UE) sejak Desember 2020 dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan perdagangan ke Benua Biru, terutama sawit dan turunannya yang kerap menghadapi hambatan nontarif.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengemukakan disepakatinya ketentuan perdagangan sawit dalam payung Indonesia-EFTA CEPA oleh publik Swiss belum lama ini juga menciptakan posisi tawar yang lebih besar bagi produk sawit Indonesia.
Meski Swiss tidak tergabung dalam UE, dia menyebutkan penerimaan sawit oleh Swiss bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk menampik sejumlah stigma negatif negara-negara Benua Biru terhadap komoditas tersebut.
“Bersama dengan negara Eropa lainnya, Swiss mempunyai standar kualitas tinggi. Jika produk ekspor sawit bisa diterima di Swiss tentu negara lain di Eropa berpotensi akan ikut membuka diri, ditambah dengan adanya kerja sama strategis ini,” kata Rendy saat dihubungi, Rabu (31/3/2021).
Meski demikian, Rendy juga memberi catatan bahwa forum kerja sama strategis antara Asean dan Uni Eropa tidak serta-merta langsung membuat sawit melenggang.
Bagaimanapun, Uni Eropa juga memiliki kepentingan atas perdagangan produk minyak rapa dan minyak bunga mataharinya yang harus berhadapan langsung dengan minyak sawit. Dalam masa pemulihan, minyak sawit yang lebih murah bisa menjadi alternatif pilihan masyarakat.
“Minyak sawit punya keunggulan dari sisi harga relatif jauh lebih murah dan dalam konteks setelah pandemi tentu ini menjadi keunggulan komparatif yang sangat baik. Saat banyak negara terpukul secara ekonomi karena pandemi, tentu ada penyesuain pola konsumsi dari masyarakatnya sendiri,” lanjut Rendy.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor minyak sawit ke Uni Eropa turun dari 4,04 juta ton pada 2019 menjadi 3,92 juta ton pada 2020.
Namun data tersebut tidak menyertakan Inggris yang resmi keluar dari blok kerja sama tersebut pada Januari 2020. Ekspor minyak sawit ke Inggris pada 2020 justru naik dari 83.000 ton pada 2019 menjadi 92.800 ton pada 2020 dengan nilai mencapai US$61,16 juta.
Baca Juga : Harga CPO Punya Bekal Kuat untuk Terus Mendaki |
---|
Rendy juga mengemukakan bahwa payung kerja sama strategis antara Asean dan Uni Eropa bisa menjadi jalan dicapainya kesepakatan bersama soal standar minyak sawit. Uni Eropa tercatat telah bekerja sama dengan Asean dalam Joint Working Group on Palm Oil sebagai bagian dari syarat sebelum hubungan kedua organisasi berubah dari yang hanya sebatas dialog menjadi kemitraan strategis.
“Dari pada saling tuduh, memang sebaiknya langsung dibuat apa yang dimaksud dengan keberlanjutan dan bagaimana implementasinya baik itu ke minyak sawit dan juga minyak bunga matahari. Meski terdengar sederhana, saya kira sekali lagi, karena tarik-menarik kepentingan dagang,” lanjutnya.
Terpisah, Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan dicapainya kemitraan strategis antara Asean dan Uni Eropa telah melalui proses panjang. Usulan untuk peningkatan status hubungan sempat terganjal masalah minyak nabati, di mana dua negara Asean memiliki posisi sebagai produsen utama global.
“Kemitraan strategis belum bisa dicapai sebelumnya karena terganjal isu sawit dalam konteks Uni Eropa. Namun Asean mengambil posisi solid, negara Asean sepakat tidak mau melanjutkan kemitraan strategis sebelum langkah dan good will Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah sawit,” kata Mahendra.