Bisnis.com, JAKARTA - Perum Bulog menyatakan tetap mengacu pada penugasan pemerintah terkait kanal penyaluran Bulog di tengah instruksi untuk menyerap beras saat panen dan pengelolaan stok.
Merujuk pada Peraturan Presiden No. 48/2016 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional, Sekretaris Perusahaan Bulog Awaluddin Iqbal menjelaskan tugas Bulog mencakup berbagai aspek mulai dari pengamanan harga beras ditingkat produsen dan konsumen, pengelolaan CBP, dan penyediaan dan pendistribusian beras kepada golongan masyarakat tertentu.
“Untuk penyaluran tentu di pemerintah. Yang jelas mengacu pada Perpres 48 [Tahun 2016],” kata dia, Rabu (24/3/2021).
Pasal 9 regulasi tersebut menyebutkan bahwa Perum Bulog bisa melakukan penyaluran pangan yang dikelolanya untuk kebutuhan masyarakat berpendapatan rendah untuk beras. Namun penyaluran ini harus berdasarkan pada ketetapan yang dibuat Menteri Sosial.
“Untuk beras memang harus holistik melihat kebijakannya, dari hulu dan hilir harus sejalan karena ada konsekuensi dari aktivitas menyerap. Ketika harga di hulu harus dijaga, konsekuensi dari itu adalah pasar yang captive [untuk penyaluran],” lanjutnya.
Potensi beras turun mutu sisa pengadaan pada 2018 dan 2019 ditambah dengan sisa beras impor 2018 yang dikelola Bulog diperkirakan mencapai 300.000 sampai 400.000 ton. Dengan volume besar yang berpeluang tak tersalur ke pasar, Ombudsman RI memperkirakan kerugian Bulog bisa mencapai Rp1,25 triliun.
Meski demikian, jumlah tersebut dipandang tidak seberapa dibandingkan dengan nilai beras yang berhasil diserap Bulog dalam rangka menjaga stabilitas pasokan dan harga. Pada 2020 misalnya, Perum Bulog berhasil menyerap 1,24 juta ton.
“Selama tiga tahun sejak 2018 pemerintah berhasil menjaga stabilitas harga komoditas dengan nilai Rp747 triliun. Kerugian Rp1,25 triliun ini siapa yang bertanggung jawab? Saya rasa ini kecil dan wajar untuk stabilisasi harga,” kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika.