Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OJK Bilang Pelaksanaan Ekonomi Berkelanjutan di Indonesia Belum Mulus

Salah satu tantangannya adalah mengubah pola pikir para pelaku industri untuk menjalankan ekonomi berkelanjutan yang ternyata tidak semudah itu, terutama awareness yang masih rendah dari para pelaku industri.
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi Covid-19 telah mengubah tren dan arah bisnis perekonomian yang lebih berfokus pada sustainable economy atau ekonomi berkelanjutan, yakni menggabungkan antara aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola dengan industri keuangan.

Analis Eksekutif Senior Departemen Internasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad Rifqi mengatakan bahwa sebagai regulator, OJK mendukung sepenuhnya ekonomi berkelanjutan tersebut. Namun, sambungnya, hal tersebut hingga kini masih belum bisa terlaksana dengan mulus.

Salah satu tantangannya adalah mengubah pola pikir para pelaku industri untuk menjalankan ekonomi berkelanjutan yang ternyata tidak semudah itu, terutama awareness yang masih rendah dari para pelaku industri.

Selain itu, lanjutnya, belum adanya standarisasi yang jelas untuk para pelaku dalam mengembangkan ekonomi berkelanjutan. Apalagi saat ini, masih sedikit peluang bisnis yang bisa diraih oleh para pemain di dalamnya.

“Berbagai respon cukup bagus, juga dari dunia internasional mendapat sambutan yang positif. Evaluasi masih ada yang harus disempurnakan. Untuk itu kami tetap berharap sektor sektor jasa keuangan berupaya mengadaptasi keuangan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan risiko dari perubahan iklim,” ujar analis OJK tersebut, dalam keterangan yang diterima Bisnis, Selasa (23/3/2021).

Presiden Direktur PT Bank DBS Indonesia Paulus Sutisna mengatakan bahwa Indonesia sebetulnya merupakan pasar yang menarik bagi investor karena demografinya, sumber daya alam, dan populasi umur produktif yang tinggi.

Selain itu, Indonesia juga mampu mendapatkan keuntungan dari perbaikan ekonomi global, terutama kebutuhan akan sumber daya alam yang tinggi. “Kendati demikian, Indonesia masih belum bisa keluar dari ekonomi berbasis sumber daya alam,” katanya, Selasa (23/3/2021).

Untuk itulah, Bank DBS terus aktif menggandeng para ahli di bidang perekonomian untuk berdiskusi akan peran pemerintah dan swasta dalam berkolaborasi untuk mendorong agenda keberlanjutan atau sustainability.

Kepala Studi Lingkungan, LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah, melihat saat ini beberapa negara sudah mulai untuk menjalankan ekonomi hijau, seperti Korea Selatan dan Uni Soviet. Indonesia sendiri pun menurutnya sudah harus mulai melakukan transisi ke ekonomi berkelanjutan.

“Kita harus mengarah ke pathway yang lebih green dan sustain. Bukan hanya untuk mendapatkan manfaat lingkungan tapi juga ekonomi yang nantinya bisa menurunkan poverty di Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, langkah green recovery ini akan memberikan keuntungan yang berlipat ganda, baik untuk lingkungan maupun perekonomian.

Untuk itu, setiap pelaku harus lebih jeli melihat sektor apa saja yang bisa dikembangkan termasuk juga dengan caranya yang tentu saja harus dilakukan dengan studi yang lebih komprehensif.

Alin menjelaskan, beberapa sektor yang bisa disasar untuk green recovery ini adalah renewable energy, pertanian, perhutanan, dan perikanan. Sektor tersebut banyak digeluti oleh masyarakat menengah ke bawah sehingga ketika sektor tersebut bisa lebih berkembang, maka nilai tambah yang diangkat akan lebih besar.

Sebelumnya, pemerintah juga telah menyusun green taxonomy sebagai acuan dan kriteria bagi pihak di jasa finansial untuk mendukung ekonomi hijau di Indonesia.

Kendati demikian, Chief Sustainability Officer Bank DBS Mikkel Larsen mengatakan bahwa dalam pelaksanaan green taxonomy, setiap bank harus memiliki sistem yang menunjang perekonomian hijau agar pelaksanaannya dapat diterapkan secara jangka panjang.

“Penerapan sustainable finance di perbankan harus memiliki rencana yang matang dari lembaga perbankan. Sebab, OJK sebagai regulator telah memiliki regulasi yang mendukung pelaksanaan green taxonomy, tetapi inisiatifnya harus dilaksanakan menurut kebijakan masing-masing perbankan,” kata Larsen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dewi Andriani
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper