Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia National Shipowner’s Association (INSA) melayangkan sejumlah permintaan kepada Otoritas Pelabuhan (OP) dengan harapan dapat menurunkan biaya logistik yang selama ini ditanggung oleh pelaku usaha.
Wakil Ketua Umum VII INSA Faty Khusumo mengatakan berdasarkan UU no. 17 tahun 2020 tentang pelayaran, Otoritas Pelabuhan merupakan lembaga yang menjaga keamanan dan keselamatan pelayaran serta kelancaran berlalu lintas di Perairan dan kelancaran arus barang di pelabuhan.
Namun, lanjutnya, dalam pelaksanaannya apabila OP belum bisa menyediakan sarana dan prasarana maka dapat didelegasikan atau dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang memenuhi persyaratan.
Kendati ada pendelegasian, biaya logistik tetap tinggi karena Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang ditunjuk melayani diwajibkan membayar lima persen dari pendapatannya kepada pemerintah dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan kondisi tersebut, kata dia, BUP memiliki kecenderungan menetapkan tarif secara komersial yang tidak lagi berfokus kepada keselamatan dan kenyamanan masyarakat.
“Biaya labuh, pandu tunda yang ditagihkan. Masih banyak lagi di luar PNBP. Tarifnya sudah berada di luar daripada servis yang diadakan. Tarif itu diadakan perlu direview kembali,” ujarnya, Senin (22/3/2021).
INSA pun meminta agar otoritas pelabuhan nantinya bisa meningkatkan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap kinerja BUP yang ada terkait dengan penetapan tarif, proses penetapan dan kenaikan tarif, mengevaluasi kerjasama BUP – Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) terkait dengan tarif, jam kerja dan kinerja TKBM.
Permintaan lainnya adalah agar OP menetapkan standar kecepatan bongkar muat untuk mengurangi antrean kapal sandar. “Memastikan juga sebaiknya no service no pay, contoh pemakaian tunda 1 jam ditagih tiga jam karena pemberlakuan zonasi di Tanjung Priok. Pemberlakuan biaya relokasi di Pontianak untuk pergerakan dari Container Yard (CY) ke depot yang jaraknya 200 meter. Ini kecil tapi kalau berkali-kali tentunya berdampak,” tekannya.
INSA pun juga meminta agar adanya tinjauan kembali pemberlakuan kawasan wajib pandu dan tunda. Pasalnya, kata dia, selama ini banyak pelabuhan belum ditetapkan sebagai wajib pandu tetapi sudah diharuskan memakai pandu karena syahbandar bekerja sama dengan BUMN Pelabuhan yakni Pelindo.
Dia mencontohkan di sejumlah pelabuhan terutama ekspor batubara di laut lepas tetapi harus masuk sebagai kawasan wajib pandu yang pada prakteknya di lapangan tak diperlukan.
Selain itu masih terdapat kondisi kapal berukuran 100 m -150 m wajib menggunakan dua tunda saat sandar yang semestinya apabila kapal memiliki pesawat bantu penggerak berupa baling- baling yang ditempatkan melintang di bagian lambung haluan kapal atau bow thruster cukup menggunakan satu tunda saja.
Di luar itu, pelaku berharap pelabuhan kelas utama dapat memberikan layanan 24 jam penuh per pekan (24/7) untuk mengakomodir pergantian kru. Hal ini belum dapat dilakukan pada Sabtu dan Minggu.
Sejumlah persoalan lainnya ternyata juga masih dihadapi kapal berbendera Indonesia yang membawa barang impor masih dipungut tagihan dalam bentuk kurs dollar AS yang semestinya pada saat muat untuk rute domestik ditagih dalam bentuk mata uang rupiah.
Faty lantas juga memberikan masukan agar pelayanan inaportnet yang mengalami gangguan harus dapat dilayani secara manual supaya tidak mengakibatkan penundaan keberangkatan kapal. Dengan kondisi saat ini bisa dilakukan manual apabila penggunaannya di atas 4 jam.