Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Taper Tantrum Era Covid-19 Bakal Beda dari 2013 Lalu, Ini Dampaknya ke Indonesia

Pemulihan ekonomi di AS kemungkinan tidak akan berbentuk kurva K dan akan melampau pertumbuhan negara-negara emerging market.
Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, 2 November 2020 / Youtube Setpres
Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, 2 November 2020 / Youtube Setpres

Bisnis.com, JAKARTA - Peningkatan imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS) atau yield US Treasury yang bergerak lebih cepat dari pemulihan ekonomi di negara itu dinilai memberikan sinyal yang baik bagi pertumbuhan ekuitas yang bersifat sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan pemulihan ekonomi di AS kemungkinan tidak akan berbentuk kurva K dan akan melampau pertumbuhan negara-negara emerging market.

Sebelumnya diproyeksikan pertumbuhan ekonomi di emerging market akan lebih tinggi dari AS. Proyeksi ini berdasarkan premis dolar AS yang melemah dan aliran modal asing ke emerging market mengalami peningkatan.

Dia mengatakan, jika merujuk pada data pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2020 dan membandingkannya dengan basis data sebelum pandemi Covid-19, maka diperkirakan ekonomi AS akan tumbuh sebesar 1,9 persen tahun ini, lebih rendah dari 3,0 persen di sebagian besar negara berkembang.

Namun sebaliknya, jika ekonomi AS semakin membaik dan melampaui proyeksi, maka akan sulit bagi negara emerging market.

“Ini berarti lonjakan imbal hasil US treasury berkelanjutan, karena mencerminkan prospek ekonomi AS yang membaik dan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi,” katanya, Minggu (28/2/2021).

Dengan demikian, Satria memperkirakan taper tantrum 2.0 atau kondisi di mana Bank Sentral AS menaruk stimulus moenternya, akan berbeda dengan taper tantrum pada 2013 lalu. Menurutnya, taper tantrum kali ini tidak akan fokus pada inflasi atau defisit transaksi berjalan, tetapi pada pertumbuhan ekonomi.

Hal ini ke depannya akan berdampak negatif pada rupiah. Adapun, sikap pemerintah Indonesia yang tidak menerapkan lockdown dinilai akan meningkatkan ketahanan ekonomi secara jangka pendek, namun menunda pemulihan karena pandemi Covid-19 yang sangat lambat ditangani.

Bahkan dia memperkirakan, ekonomi Indonesia mungkin hanya tumbuh 2,8 persen tahun ini, lebih lambat dari kebanyakan negara berkembang lainnya.

Jika pemulihan di Indonesia berbentuk kurva L atau U, sementara China dan India pulih dengan bentuk kurva V, maka aset rupiah dapat terpukul selama perputaran aset di masa pemulihan ekonomi.

Sementara itu, pasar menuntut ekonomi Indonesia pulih dengan kurva V. Namun, Satria menilai pemulihan dengan kurva V akan bergantung pada percepatan program vaksinasi Covid-19, penyaluran bantian tunai yang efisien bagi masyarakat menengah ke bawah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper