Bisnis.com, JAKARTA – Ke mana akhir dari rencana ekspansi pabrik baterai kendaraan listrik Tesla Inc? Indonesia, India, Filipina atau justru di salah satu negara di kawasan Indochina?
Belum ada kata final. Dalam drama investasi jumbo dari jantung kendaraan generasi baru ini, nikel merupakan sang primadona karena dari ‘rahim’-nya akan lahir baterai ion litium.
Dan negeri ini merupakan salah satu negara dengan kekayaan nikel luar biasa. Darinya diharapkan nama Indonesia akan bergaung lebih kencang di panggung global, menggantikan komoditas lama seperti minyak sawit.
Alhasil, menggolkan rencana investasi Tesla, Si Raja Mobil Listrik, ke Tanah Air tentu saja menjadi sebuah negosiasi bisnis yang sangat menantang.
Seberapa menarik Indonesia di mata perusahaan otomotif besutan Elon Musk tersebut?
Sebagai perbandingan, ketika Tesla berencana membangun fasilitas pertama Gigafactory di negara asalnya (Amerika Serikat) saja, persaingan antar negara bagian sebagai destinasi investasi demikian sengitnya.
Ini bukan sekadar persoalan bisnis. Unsur politiknya pun berhembus kencang. Para politisi dari Nevada, Texas, California, New Mexico, dan Arizona berupaya menjegal rencana Musk tersebut.
“Nevada akhirnya memenangi bisnis tersebut dengan menawarkan kepada Tesla insentif sebesar US$1,4 miliar,” ujar Ashlee Vance, penulis biografi Elon Musk: Tesla, SpaceX and the Quest for a Fantastic Future.
Jelas sudah, daya saing investasi yang berujung pada keberanian, komitmen, hingga eksekusi mulus insentif kakap di lapangan menjadi magnet kuat bagi investor kakap sekelas Tesla.
Kini Gigafactory pertama sudah beroperasi komersial dengan total investasi sedikitnya US$4,5 miliar, dihela bersama mitra lama, Panasonic. Dalam kamus Tesla, fasilitas tersebut dirancang sebagai produsen ion litium terbesar di dunia.
Setiap pabrik nantinya mempekerjakan sekitar 6.500 orang dan membantu kemampuan Tesla memenuhi permintaan baterai dari mobil-mobilnya dan unit penyimpanan yang dijual oleh SolarCity.
Kabar baiknya bagi Indonesia, Musk tidak hanya berambisi membangun hanya satu Gigafactory tetapi ada beberapa. Salah satu orang terkaya di dunia itu membutuhkan fasilitas tersebut dibangun secara cepat dan tanpa kekurangan, sehingga mereka dapat menghasilkan baterai dalam kuantitas yang besar.
Ini rencana bisnis mereka yang secara umum masih berlaku meski pabrik pertama di Nevada awalnya dikebut untuk mengantisipasi kehadiran Model 3.
Alhasil, bila diperlukan Gigafactory kedua perlu segara dihadirkan untuk menciptakan sebuah kompetisi yang tajam di internal Tesla. Nah, urusan investasi baru ini yang membuat ngiler banyak negara kaya nikel seperti Indonesia.
Namun, tidak tertutup kemungkinan pula bahwa ada pemain besar di luar Tesla yang juga berambisi serupa. Elon Musk sendiri sudah mencium gelagat ini sejak sekitar 2014. Saat itu dia memperkirakan ‘Gigafactory’ milik pesaing bakal muncul tidak lebih cepat dari enam tahun mendatang.
Siapa dia? “Mereka ingin melihat sesuatu berhasil dan berfungsi dengan baik di tempat lain sebelum mereka akan menerima proyek itu dan melangkah ke depan. Mereka mungkin lebih seperti tujuh tahun jaraknya. Tapi aku harap aku keliru,” ujar Musk dalam biografi tersebut.
Prakiraan tersebut masuk akal karena saat ini saja, dalam konteks Indonesia, sejumlah investor asing santer disebut-sebut berminat menggarap proyek baterai kendaraan listrik di Tanah Air.
Peminat dari China antara lain Contemporary Amperex Technology Co Ltd (China), BYD Auto Co Ltd, dan Farasis Energy Inc. Dari Korea Selatan muncul nama LG Chem Ltd dan Samsung SDI. Adapun Panasonic (Jepang) dikabarkan juga tertarik. Belum diketahui apakah pabrik yang akan disiapkan setara dengan Gigafactory.
Musk sendiri pernah dicemooh saat mewujudkannya. Dianggap bodoh karena yang seharusnya membangun pabrik semacam itu adalah pemasok baterai, bukan produsen otomotif. Investasi yang sangat mahal menjadi ‘kartu truf’ mereka yang berseberangan dengan Tesla.
Namun Musk tetap pada pendiriannya. “Aku tahu bahwa kami tidak akan mendapatkan baterai ion litium dalam jumlah yang cukup, kecuali kami membangun pabriknya sendiri. Dan aku tahu bahwa tak ada orang lain yang membangun hal ini [Gigafactory].”