Bisnis.com, JAKARTA - Secara genetis, kualitas kakao di Indonesia sebetulnya tidak kalah dibandingkan dengan biji kakao dari luar negeri seperti Ghana dan Pantai Gading.
Hanya saja komoditas kakao ini masih sering menghadapi tantangan dalam proses pengolahannya.
Dr. Soetanto, peneliti Puslitkoka dan Pembina Masyarakat Kakao Indonesia, mengatakan kebanyakan biji kakao yang ada di Indonesia tidak diolah dan difermentasi dengan baik sehingga mempengaruhi dari segi kualitas.
“Satu-satunya penghasil kakao di dunia yang biji kakao nya dijual tanpa fermentasi hanyalah Indonesia padahal secara kualitas kakao kita itu sudah sangat baik cuma karena pengolahannya kurang baik maka hasilnya pun menjadi kurang menarik,” tuturnya.
Secara umum, terdapat dua jenis kakao yaitu kakao mulia atau lebih dikenal dengan fine flavour cocoa (FFC) dan kakao jenis lindak atau kakao biasa yang dikenal dengan istilah bulk cocoa. Memang saat ini, jumlah Kakao Mulia dengan kualitas terbaik paling banyak dihasilkan dari negara-negara Amerika Latin seperti Peru, Ekuador, maupun Kolombia.
Indonesia juga sebetulnya memiliki kakao jenis mulia tetapi jumlahnya masih sangat sedikit dan hanya ada di Jawa Timur yang dikelola oleh perkebunan PTPN 12.
Baca Juga
“Kalau dari segi harga dan kualitas, jenis fine flavour cocoa itu bisa dua kali atau bahkan tiga kali lipat dari bulk cocoa. Misalnya untuk kakao jenis biasa harganya US$2,5 per kg maka yang fine flavour cocoa bisa sampai US$7 per kg tapi memang secara jumlah tidak terlalu banyak,” tuturnya.
Sebagian besar jenis kakao di Indonesia merupakan bulk cocoa. Namun, sambungnya, bulk cocoa ini jika diproses melalui fermentasi dan dikeringkan dengan baik sebetulnya juga bisa menghasilkan kualitas yang tinggi meskipun dari segi harga masih kalah dibandingkan dengan FFC.
Sayangnya, para petani kakao di Indonesia banyak yang langsung menjual Biji Kakao basah tanpa melalui proses fermentasi karena dinilai jika harus difermentasi terlebih dahulu prosesnya akan lama dan harus menunggu sekitar seminggu atau sepuluh hari.
Terlebih untuk dapat difermentasi, minimal harus ada 40 kg biji kakao. Padahal, setiap petani rata-rata hanya memiliki lahan setengah atau satu hektar dan tidak mungkin bisa mendapatkan 40 kg biji kakao dalam sekali panen.
Untuk itu dibutuhkan beberapa petani yang kemudian biji kakau tersebut diolah bersama-sama menghasilkan biji fermentasi yang berkualitas.
“Banyak petani yang menganggap ketika difermentasi itu cukup merepotkan dan dari segi harga enggak jauh dibandingkan dengan menjual biji kakao non fermentasi. Di situlah kompleks nya persoalan komoditas Kakao di Indonesia,” terangnya.
Menurut kebanyakan petani, selisih harga biji kakao yang sudah terfermentasi dan non fermentasi hanya Rp2.000 atau kadang hanya Rp1.000 per kg, tapi prosesnya dianggap cukup rumit sehingga mereka lebih memilih menjual dalam bentuk biji kering.
“Padahal, kalau bisa diproses dengan baik saat fermentasi dan pengeringan, minimal harganya bisa selisih hingga Rp5.000 per kg bahkan kalau disortir lagi bisa lebih tinggi hampir 2 kali lipat dan bisa masuk ke dalam premium kakao,” tuturnya.
Dia mencontohkan untuk kakao yang tidak terfermentasi hanya laku Rp27ribu hingga Rp30ribu per kg kering, sedangkan yang telah terfermentasi dengan kualitas bagus harganya bisa sampai Rp40.000 hingga Rp45.000 per kg kering.
Beruntung akhir-akhir ini sudah ada sejumlah kelompok petani yang tergabung di dalam koperasi maupun perusahaan swasta yang melakukan fermentasi.
Mereka membeli kakao basah dari petani untuk kemudian dikeringkan dan difermentasi dan dijual menjadi jenis kakao berkualitas sehingga harga jualnya menjadi lebih tinggi. Beberapa koperasi petani tersebut berada di Manokwari, Bali, Gunung Kidul, Berau, hingga Sulawesi.
Kakao-kakao berkualitas yang sudah difermentasi tersebut menurutnya tidak hanya laku dijual di dalam negeri tetapi juga hingga ke luar negeri, bahkan sudah ada pembeli yang rutin memesan kakao dari Indonesia, seperti dari Belanda yang kemudian dari sana akan dijual kembali ke negara-negara Eropa.
Selain fermentasi, kakao berkualitas juga dilihat dari beberapa parameter seperti kadar air maksimal 7,5% sebab jika lebih dikhawatirkan akan berjamur. Selain itu, biji kakao juga tidak boleh ada kotoran maupun serangga yang jumlahnya melebihi karakteristik mutu dan berbagai karakteristik lainnya sesuatu standar internasional.
Memang saat ini sudah ada standar SNI untuk kakao, tetapi yang wajib baru untuk bubuk kakao yang jika tidak diikuti akan ada sanksinya, sedangkan kakao jenis lainya seperti biji kakao, lemak, maupun kakao massa tidak wajib SNI meskipun secara standardisasi dan lembaga yang melakukan standar sertifikasi produknya sudah ada.
“Untuk bubuk kakao itu memang wajib terstandarisasi tapi kalau yang lainnya itu tidak wajib sehingga belum terlalu banyak perusahaan yang memiliki SNI untuk biji kakao, lemak kakao, maupun kakao massa,” ujarnya.
Terkait kakao berkualitas tinggi, menurutnya sebagian besar digunakan untuk pangan seperti makanan dan minuman coklat karena memang sangat mementingkan kualitas rasa dan kandungan sedangkan jika untuk kosmetik biasanya yang diambil hanya lemak atau butter-nya saja sehingga tidak membutuhkan kakao dengan kualitas tinggi.