Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DP 0 Persen, REI: Yang Penting Bank Jangan Terlalu Selektif Beri KPR

Bank Indonesia terus menurunkan bunga acuan. Namun, bagi developer, yang lebih penting adalah perbankan jangan terlalu ketat dalam menyeleksi calon debitur.
Foto udara kawasan perumahan di Bogor./Bisnis/Abdullah Azzam
Foto udara kawasan perumahan di Bogor./Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Sektor properti memperoleh angin segar agar dapat bangkit beserta 175 sektor turunannya setelah Bank Indonesia (BI) menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,50 persen.

Selain itu, BI menetapkan loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) 100 persen atau uang muka (down payment) 0 persen untuk kredit properti. Artinya, seluruh kebutuhan dana dalam memperoleh kredit properti ditanggung bank, konsumen tidak perlu membayar uang muka mulai 1 Maret 2021.

Di sisi lain, untuk mewujudkan Program Sejuta Rumah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan kebijakan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) pembiayaan beragun rumah tinggal yang granular dan ringan tergantung pada rasio LTV yaitu: uang muka 0 persen-30 persen (LTV ≥70 persen) denga ATMR 35 persen, uang muka 30 persen-50 persen (LTV 50 persen-70 persen) dengan ATMR 25 persen, dan uang muka ≥ 50 persen (LTV ≤ 50 persen): ATMR 20 persen.

Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menyambut baik penurunan bunga acuan. Namun, dia berharap perbankan juga turut serta dapat menurunkan suku bunga kredit sehingga uang yang ada dapat menggerakkan ekonomi.

Terkait dengan kebijakan LTV, lanjutnya, dia menganggap bukan merupakan barang baru karena telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia sejak 2019 meski dengan persentase lebih rendah. "Aturan ini memang sudah ada sejak 2019. Gubernur BI kembali menegaskan bahwa LTV hingga 100 persen, kami sangat setuju," ujarnya kepada Bisnis pada Jumat (19/2/2021).

Namun demikian, saat ini yang dibutuhkan yakni relaksasi persyaratan kredit perbankan ke sektor propeti.

Menurutnya, saat perbankan sangat amat selektif dalam memberikan persetujuan KPR. Pasalnya, jika sebelum pandemi terdapat 10 konsumen akhir atau end user yang mengajukan hanya 8 unit yang disetujui. Namun kini hanya sekitar maksimal 2 unit yang disetujui.

"Itu mestinya yang mengatur perbankan selain asosiasi dan Himbara, BI, dan OJK tentu berkecimpung secara regulasi supaya bank lebih berani meluncurkan kredit dalam kondisi pandemi ini," kata Totok.

Dia menilai hal itu dikarenakan perbankan menjaga agar NPL (non-performing loan) tak tinggi.  Namun, sulitnya konsumen dalam mendapatkan kredit justru berdampak pada tidak terserapnya properti perumahan yang dibangun pengembang.

Hal itu juga membuat pengembang mengalami kerugian dan semakin sulit untuk melakukan ekspansi bisnis selanjutnya.

"Kami sendiri bangun rumah kan biayanya lebih tinggi, kalau debitur nanti ditolak bank, cost of money atau biaya terhadap uang yang kita investasikan bakal membengkak. Kalau rumahnya nggak bisa realisasi yang rugi kan developernya, jadi macet, otomatis kami enggak bisa bangun rumah lagi," ucapnya.

Namun demikian, Totok mengusulkan agar sektor properti dan turunannya dapat bergerak, dibutuhkan pula kebijakan sunset policy (penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga) yakni dengan pengenaan tarif sebesar 5 persen terhadap aset kekayaan yang belum dilaporkan dalam SPT oleh wajib pajak.

Hal itu dikarenakan besarnya dana menganggur yang masih dimiliki oleh masyarakat sehingga hasil deklarasi dana ini akan mampu memicu peningkatan investasi di sektor rill termasuk properti. "Dengan adanya sunset policy di pajak, lalu kebijakan BI dan OJK saya yakin sektor properti cepat bergerak."

Sementara itu, Ketua Indonesia Mortgage Bankers Association (IMBA) dan juga EVP Consumer Loans Bank Mandiri Ignatius Susatyo Wijoyo menuturkan hampir semua perbankan dalam 3 hingga 6 bulan terakhir menurunkan bunga KPR. "Bukan hanya Bank Himbara, tetapi juga swasta," ujarnya.

Adapun penurunan bunga KPR perbankan ini bermacam-macam, ada yang fixed 1 digit atau di bawah 10 persen selama 10 tahun untuk rumah subsidi dan komersial.

"Perbankan berusaha bersama-sama efisiensi dnegan suku bunga. Ada yang fixed 1 tahun - 2 tahun bunganya di bawah 5 persen. Ada yang 10 tahun bungnya di bawah 10 persen," ucapnya.

Susatyo menambahkan kekuatan setiap perbankan berbeda-beda dimana ada perbankan yang sudah berusaha menurunkan bunga kreditnya dan ada yang sedang menuju penurunan bunga kredit dengan melakukan efisiensi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper