Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah industri mulai memanaskan aktivitas produksi pada awal tahun seiring potensi permintaan yang membaik pada kuartal kedua yang didukung oleh momentum Ramadan dan Idulfitri.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan peningkatan impor bahan baku atau penolong untuk industri makananan dan minuman telah mulai meningkat sejak Desember dan masih berlanjut sampai saat ini. Permintaan percepatan pasokan dari ritel membuat pabrik menggenjot produksi.
“Kami sudah datangkan bahan baku dan naik impornya sejak Desember karena dari ritel sudah mulai meminta distribusi pada Januari sampai Maret. Di beberapa anggota pun melaporkan kegiatan produksi sedang puncak-puncaknya,” kata Adhi saat dihubungi, Senin (15/1/2021).
Adhi menjelaskan pasokan bahan baku lewat pengadaan luar negeri sejauh ini dalam kondisi aman baik untuk memenuhi permintaan domestik maupun ekspor.
Pelaku usaha pun tengah menanti revisi perizinan impor yang datang seiring disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Adhi mengatakan perizinan impor bahan baku ke depan akan lebih transparan dan akomodatif bagi kelancaran aktivitas industri.
“Untuk impor bahan baku akan mengacu pada neraca komoditas yang dihitung setahun sebelum neraca berjalan pemerintah akan menghitung. Jadi untuk bahan baku makanan dan minuman misalnya, untuk 2022 akan dihitung potensi pasokan dalam negeri dan kebutuhannya pada 2021,” lanjut dia.
Baca Juga
Sejumlah bahan baku industri makanan dan minuman tercatat menjadi penyumbang kenaikan impor terbesar pada Januari 2021 meski secara total impor mengalami kontraksi secara bulanan dan tahunan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor gula dan kembang gula pada Januari naik US$121,4 juta, serta biji dan buah mengandung minyak naik US$44,4 juta.
Sebaliknya, mesin dan peralatan mekanis serta mesin dan peralatan elektronik menjadi dua golongan barang yang mengalami penurunan bulanan terdalam, masing-masing dengan nilai US$371,3 juta dan US$322,3 juta.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronika (Gabel) Daniel Suhardiman mengatakan penurunan impor pada bahan baku produk elektronika pada Januari dipengaruhi oleh fenomena alam dan peningkatan kasus Covid-19 yang membuat pelaku usaha mempertimbangkan kembali aksi impor bahan baku.
Meski demikian, pelaku industri elektronika menyebutkan pemulihan aktivitas bisa terjadi pada semester II dan mencapai level yang sama seperti 2019.
“Kami lihat ada potensi perbaikan permintaan dan aktivitas industri bisa pulih pada semester II untuk semua jenis produk elektronik. Sinyal pemulihan sendiri sudah dirasakan sejak kuartal IV,” kata Daniel.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa ekspor industri pengolahan nonmigas mencapai nilai tertinggi sejak Agustus 2020. Pada Desember 2020, ekspor industri pengolahan non migas mencapai US$12,91 miliar atau naik sebesar 6,76 persen dibandingkan dengan November 2020. Nilai ekspor ini merupakan yang terbesar sepanjang tahun 2020.
Kenaikan ini ditunjang oleh peningkatan ekspor industri sektor makanan yang naik US$300,6 juta atau naik 9,16 persen secara bulanan dan industri pakaian jadi naik US$148,3 juta atau naik 29,4 secara bulanan.
Sementara untuk industri komputer, barang elektronik dan optik, serta industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia pada Desember mengalami peningkatan lebih dari US$50 juta.