Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Stok Peritel Baju Masih Menggunung, Pemasok Terancam Kolaps

Harapan pemulihan atas pandemi yang menekan penjualan pada tahun lalu masih menyisakan ketidakpastian di tengah ancaman lockdown dan persediaan vaksin yang tidak merata.
Suasana salah satu pusat perbelanjaan di Kota New York, AS/Bloomberg
Suasana salah satu pusat perbelanjaan di Kota New York, AS/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Peritel Eropa hingga Amerika masih memiliki stok berlebih sehingga terpaksa memangkas pesanan pada musim semi tahun ini. 

Alhasil, pemasok pakaian harus menghadapi penundaan pembayaran. Harapan pemulihan atas pandemi yang menekan penjualan pada tahun lalu masih menyisakan ketidakpastian di tengah ancaman lockdown dan persediaan vaksin yang tidak merata.

Sejumlah peritel tercatat masih memegang stok pakaian tahun lalu, yang biasanya habis terjual dalam momen diskon pada keadaan normal. Primark, jaringan peritel Inggris, menyatakan bahwa masih memiliki stok pakaian musim semi/panas 2020 senilai 150 juta pounds (US$205 juta) dan 200 juta pounds stok edisi musim gugur/ dingin tahun lalu.

Dilansir CNA, Senin (8/2/2021), McKinsey bahkan memperkirakan nilai stok pakaian yang belum terjual secara global berada di kisaran 140-160 miliar euro (US$168-US$192 miliar), atau dua kali lipat dari kondisi normal.  

Peritel lainnya, Marks & Spencer dan Hugo Boss menyebutkan mereka sudah melakukan pemesanan jauh lebih sedikit untuk musim semi tahun ini.

Ron Frasch, mantan Presiden Saks Fifth Avenue yang saat ini partner dari firm Castanea Partners mengemukakan para peritel saat ini memilih untuk menjaga volume penyimpanan terbatas dengan durasi waktu yang singkat.

“Hampir semua merek sekarang memilih waktu yang sempit terkait pengiriman dan sangat terbatas durasinya. Saya kira semuanya sangat konservatif dengan apa yang dibelinya. Hal ini pasti berpengaruh terhadap pembayaran,” katanya.

Agen perantara yang berbasis di Hong Kong, Li & Fung, menjelaskan sejumlah peritel mengajukan dispensai pembayaran. Agen ini membawahi lebih dari 10.000 pabrik di 50 negara.

Tak jauh berbeda, 50 perusahaan yang disurvei Bangladesh Garment Manufacturers and Exporters Association menyatakan mereka menerima pesanan 30 persen lebih sedikit dibandingkan kondisi normal. 

Lockdown yang menimpa hampir semua wilayah Eropa sejak Natal lalu hingga saat ini sangat menekan bisnis mereka.

“Pesanan biasanya datang 3 bulan lebih awal. Tetapi tidak ada pesanan untuk Maret ini,” jelas pemilik pabrik di Bangladesh Shahidullah Azim.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper