Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tarif Pengiriman Laut Kian Mahal, Ini Efek Negatifnya

Terbatasnya ruangan muat kapal dan kelangkaan kontainer menjadi alasan peningkatan tarif yang semakin tidak terkendali dan merugikan pemilik barang.
Kapal Umsini milik PT Pelni bersandar di dermaga Pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (7/11/2018)./JIBI-Paulus Tandi Bone
Kapal Umsini milik PT Pelni bersandar di dermaga Pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (7/11/2018)./JIBI-Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan asosiasi pemilik barang khususnya eksportir perlu dengan serius mengendalikan tendensi kenaikan biaya angkut kapal dan biaya tambahan baik dalam pasar spot dan kontrak pengangkutan agar tidak berimbas kepada ekonomi Indonesia di tengah pandemi covid-19.

Pakar Kemaritiman ITS Surabaya Raja Oloan Saut Gurning menilai kondisi yang sedang dihadapi ekosistem pemilik barang Eropa (ESC) dan juga operator ekspedisi muatan kapal laut Eropa (CLECAT) memiliki gejala yang sama di Indonesia. Diantaranya yakni kondisi kekurangan ruangan muat kapal dan kelangkaan kontainer menjadi alasan peningkatan tarif yang semakin tidak terkendali dan merugikan pemilik barang.

Dengan kondisi tersebut, kata dia, operator kapal mendapatkan keuntungan ganda yaitu pertama dengan memanfaatkan kondisi pangsa pasar ke dan dari China dengan tarif yang tinggi. Selain itu bersamaan juga menaikan potensi penambahan keuntungan sepihak baik dengan peningkatan general freight dan berbagai potensi biaya tambahan (surcharges).

Bahkan, sebutnya, di Eropa kendati dimonitor oleh komisi Eropa, fasilitas block-exemption yang diterapkan untuk mengizinkan respon aliansi, justru memperparah tingginya biaya angkutan laut dan berbagai tambahan lainnya yang menguntungkan Main Line Operator (MLO) atau operator kapal internaisonal.

“Hal tersebut sangat faktual merugikan kegiatan ekonomi atau perdagangan internasional bagi Indonesia. Lewat keterlambatan, deviasi, pembatalan kontrak perdagangan dan hilangnya potensi perdagangan ekspor nasional,” ujarnya, Senin (1/2/2021).

Hal yang juga menarik, kata Saut, dampak negatif ternyata tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha kecil (start-up) namun juga pelaku usaha manufaktur besar di bidang ritel, otomotif, ICT dan komestik. Hal itu dikarenakan tendensi kenaikan juga meluas ke kontrak pengangkutan jangka panjang

Khususnya, tekannya, bagi UMKM nasional, perhatian pemerintah mungkin perlu lebih ekstra dilakukan. Karena kelompok usaha ini paling terdampak karena nilainya yang tidak besar dan melalui spot market yang paling tinggi kenaikannya.

“Dan tentu UMKM termasuk forwarder kurang memiliki daya tawar dengan MLO,” imbuhnya.

Berdasarkan pergerakan China containerised freight index yang berbasis di Shanghai terdapat kenaikan dalam dua minggu belakangan ini dari level indeks 1750 menjadi 2040. Atau dengan kata lain dengan tren kenaikan freight 0,7-5,4 persen per minggu.

Angka ini, sebutnya, akan terus menggeliat naik tidak hanya distimulasi saat dan pasca Chinese new year atau imlek tapi juga masih tingginya permintaan perdagangan laut jarak jauh jalur Asia-Transpasific dan Asia-Trans antlantik hingga kuartal II/2021.

Saut pun menekankan desakan merasionalisasi besaran kenaikan freight dan juga sewa kontainer akibat kelangkaan kontainer tipe tertentu perlu dilakukan oleh seluruh kluster entitas perdagangan logistik maritim Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper