Bisnis.com, JAKARTA - Dalam kasus komoditas strategis gula, sepanjang 5 tahun terakhir volume impor baik gula kristal mentah, gula kristal putih, dan gula kristal rafinasi terus meningkat.
Hal ini disebabkan oleh kebutuhan konsumsi dan industri belum dapat dipenuhi dari dalam negeri akibat stagnasi produksi gula domestik.
Stagnasi produksi gula kristal putih (GKP), selain karena faktor inefisiensi pengolahan pabrik gula (PG) yang rendah, juga akibat berkurangnya luas areal tanam tebu secara konsisten. Hal itu di antaranya disebabkan beralihnya penggunaan lahan petani tebu ke usaha komoditas lain yang lebih menguntungkan dan peralihan fungsi lahan menjadi kawasan industri atau real estat.
Sebagaimana terlihat dalam catatan Jurnal Gula edisi Oktober 2020, stagnasi produksi GKP dari sekitar 2,49 juta ton pada 2015 turun menjadi 2,22 juta ton pada 2019, beriringan dengan penurunan luas tanam tebu dari 445.650 hektare menjadi tinggal 411.435 hektare (2019).
Dengan perkiraan kebutuhan GKP per tahun sebesar 2,7 juta ton (konsumsi 10 kg/kapita/tahun) maka akibat dari stagnasi produksi PG telah menyisakan defisit sedikitnya 500.000 ton GKP tiap tahunnya yang harus ditutupi dengan importasi.
Ditambah lagi dengan kebutuhan gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri makanan dan minuman yang diperkirakan rata-rata 3 juta—3,5 juta ton per tahun dengan mengimpor gula kristal mentah (GKM), telah mengakibatkan peningkatan importasi secara signifikan.
Impor gula baik GKM, GKP maupun GKR dari 3,2 juta ton pada 2014 meningkat menjadi 4,5 juta ton pada 2019. Importasi GKM untuk diolah menjadi GKR oleh PG rafinasi memberi sumbangan besar pada defisit perdagangan kita dari tahun ke tahun.
Mengatasi ketimpangan yang melebar antara sisi pasokan dan permintaan pergulaan, desain closed loop mengidentifikasi faktor-faktor kondisional dan kelembagaan yang harus dihadirkan, di antaranya pertama, pemerintah harus mencegah alih fungsi lahan tebu ke tanaman lain dengan kebijakan konservasi lahan tebu sebagaimana konservasi hutan dalam kebijakan hutan lestari.
Pada saat bersamaan pemerintah memberi kemudahaan perolehan lahan untuk ekstensifikasi dan perkebunan tebu bagi investor pabrik gula (PG).
Kedua, peningkatan produktivitas di on-farm dengan melakukan pendampingan oleh PG untuk memastikan implementasi GAP tebu di tingkat petani, meliputi kualitas bibit dan pupuk, mekanisasi, peningkatan kapasitas dan teknologi. Ketiga, produktivitas dan efisiensi off-farm atau di PG dapat ditingkatkan melalui penerapan information and communication technology serta teknologi digital.
Telah menjadi rahasia umum bahwa sebagian PG pelat merah dalam penentuan rendemen masih menggunakan cara lama dan kurang transparan. Pembayaran tebu petani bisa dilaksanakan secara cepat dengan sistem beli putus.
Empat, melanjutkan program revitalisasi PG dengan fokus pada modernisasi pabrik pabrik yang sudah tua untuk mencapai suatu standar efisiensi yang tinggi.
Dalam 5 tahun terakhir ini, kebijakan harga gula petani melalui SK Permendag tentang harga acuan pembelian di tingkat petani justru stagnan di harga Rp9.100/kg, sementara harga acuan penjualan di konsumen Rp12.500/kg.
Adapun rekomendasi biaya pokok produksi (BPP) petani hasil Survei Direktorat Jenderal Perkebunan menunjukkan pada 2018 sebesar Rp9.554/kg dan 2019 Rp10.059/kg yang selama ini menjadi dasar penetapan harga acuan pembelian petani tetapi diabaikan. Selanjutnya selama kurun waktu itu terbentuk harga lelang rata-rata Rp10.845/kg dan harga ritel rata-rata Rp14.521/kg.
Membandingkan selisih harga acuan pembelian petani dengan harga lelang Rp1.745/kg terhadap selisih harga lelang dengan harga eceran rata-rata Rp3.667/kg menunjukkan kebijakan harga acuan pembelian/penjualan GKP lebih berpihak kepada pedagang daripada petani atau produsen.
Kebijakan harga acuan pembelian/penjualan yang stagnan selama ini sudah selayaknya dikoreksi dengan menggunakan besaran BPP petani hasil survei Direktorat Jenderal Perkebunan sebagai patokan.
Alhasil, bisa merangsang tumbuhnya investasi di sektor pergulaan dan petani kembali bergairah menanam tebu. Harga gula yang tumbuh secara wajar dan kompetitif yang terbentuk tidak semata-mata oleh pasar. Kebijakan bersama tentu menjadi faktor daya tarik investor.
Tata niaga gula yang ketika diterbitkan pertama kali 15 tahun lalu melalui Keputusan Menteri Perindustrian Perdagangan SK. 527/MPP/Kep/9/2004, yang kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Perdagangan SK 117/M-DAG/PER/12/2015 ditujukan untuk mengatur tata cara importasi.
Namun dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14 Tahun 2020 yang menggantikan Permendag Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang ketentuan impor gula, terdapat sejumlah materi/pasal pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerumitan tersendiri dalam implementasinya terkait dengan tugas pengawasan dan penertiban pasar gula.
Pemisahan pasar gula yang telah berlangsung sejak lama, yakni pasar GKR untuk industri dan pasar GKP untuk konsumsi langsung menjadi samar-samar.
Perbedaan tipis angka International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) dalam Permendag baru ini dalam mengklasifikasikan GKM, GKP, dan GKR sangat berisiko terjadi penyamaran, pencampuran dan akhirnya menciptakan praktik rembesan GKR ke pasar GKP. Alhasil tata niaga impor gula yang terbaru ini telah membawa dua pasar gula semakin berhimpitan satu dan lainnya.
Dengan demikian, upaya perbaikan industri gula nasional tampaknya masih memerlukan inovasi kebijakan tata niaga yang sinkron dan selaras dengan tujuan menggairahkan usaha tebu rakyat dan mendorong investasi PG.