Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi membawa misi besar untuk memperbaiki struktur ekspor nasional.
Lama berkutat menjadi pedagang komoditas mentah, Lutfi mengatakan Indonesia tengah menghadapi fenomena baru di mana produk bernilai tinggi akan menjadi tumpuan ekspor.
Guna mencapai misi tersebut, Lutfi mengatakan arus barang harus dijamin kelancarannya dan 2/3 produk impor yang masuk haruslah bahan baku penolong atau modal yang memiliki efek domino ke perekonomian, salah satunya impor untuk mendukung ekspor produk manufaktur.
“Kalau arus barang berjalan, berarti perekonomian Indonesia akan berjalan dengan baik. Bahan baku dan barang penolong tersebut biasanya dipakai untuk ekspor dan menggerakkan perekonomian terutama manufaktur di dalam negeri,” kata Lutfi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (11/1/2021).
Kementerian Perdagangan dalam Renstra Kemendag 2020-2024 menjabarkan surplus perdagangan ditarget hanya mencapai US$1 miliar atau jauh menurun dibandingkan dengan surplus sepanjang Januari-November 2020 yang mencapai US$19,6 miliar.
Namun target ini sekaligus memberi sinyal positif bahwa kebutuhan impor untuk industri manufaktur dalam negeri akan naik mengingat target ekspor nonmigas dipatok tumbuh 6,3 persen.
Baca Juga
Lutfi mengatakan keterbukaan pasar Indonesia akan menjadi hal yang penting lantaran tren ekspor Indonesia ke depannya akan bertumpu pada produk bernilai tinggi yang membutuhkan investasi dan industri yang mapan agar berdaya saing.
Dia mencontohkan kinerja ekspor industri otomotif serta besi dan baja yang sampai November 2020 masuk daftar lima penyumbang ekspor nonmigas terbesar, masing-masing dengan nilai US$5,86 miliar dan US$9,64 miliar.
“Saya bisa memastikan kedua barang ini adalah fenomena baru dari ekspor Indonesia pada masa yang akan datang. Dan ini sangat bersinggungan langsung dengan perjanjian perdagangan kita,” kata dia.
Upaya meningkatkan ekspor produk bernilai tinggi ini disebut Lutfi tidak akan bisa dicapai tanpa diiringi dengan akses pasar yang dijamin lewat perjanjian perdagangan. Akan sulit bagi produk Indonesia untuk menembus pasar-pasar tradisional maupun nontradisional akibat bea masuk yang tinggi.
“Kalau kita tidak punya perdagangan yang baik terutama ke emerging market, barang-barang ini tidak bisa menjadi basis ekspor. Kalau dulu dalam rangka persaingan kita jual sebanyak-banyaknya dan menjual sesedikit mungkin, tetapi pada masa mendatang fenomena ini akan berubah karena pada zaman kolaborasi seperti ini adalah bagaimana kita ingin ekspor besar, kita harus juga membuka pasar kita menjadi kompetitif,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, perjanjian perdagangan Indonesia ke sejumlah negara nontradisional memang masih terbatas. Indonesia tercatat baru akan meratifikasi Indonesia-Mozambique Preferential Trade Agreement (PTA), perjanjian perdagangan pertama RI dengan negara Afrika.
Selain itu, ada pula kesepakatan kerja sama komprehensif antara Indonesia dan European Free Trade Association (Indonesia-EFTA CEPA) dan Indonesia-Chile CEPA yang merupakan satu-satunya negara Amerika Latin yang memiliki perjanjian dagang dengan Indonesia.