Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hilir Mulai Ekspansif, Industri Hulu TPT Diharap Terpacu

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menilai kunci perbaikan investasi baru saat ini adalah perbaikan tata niaga impor di Kementerian Perdagangan. Hal itu guna menyambut upaya Kementerian Perindustrian yang kini lebih ketat memberikan izin untuk importir nonpabrikan.
Ilustrasi industri berbahan baku benang./Bloomberg-David Paul Morris
Ilustrasi industri berbahan baku benang./Bloomberg-David Paul Morris

Bisnis.com, JAKARTA — Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menilai kunci perbaikan investasi baru saat ini adalah perbaikan tata niaga impor di Kementerian Perdagangan. Hal itu guna menyambut upaya Kementerian Perindustrian yang kini lebih ketat memberikan izin untuk importir nonpabrikan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Rema Wirawasta mengatakan ekspansi penambahan mesin baru industri hilir untuk printing finishing dan mesin celup mulai meningkat. Hal itu tentunya akan menarik investasi hulu mulai dari serat, benang, hingga petrokimia.

"Ekspansi dengan investasi mesin baru itu karena pembenahan dari Kemenperin jika ditambah dengan perbaikan kebijakan impor maka kinerja BKPM untuk sektor TPT tentu juga akan membaik," katanya kepada Bisnis, Selasa (5/1/2021).

Redma mengemukakan sejauh ini belum terdengar pemain baru yang akan datang mewarnai sektor TPT Tanah Air. Pasalnya, yang paling memahami pasar domestik adalah pemain lama yang sudah dapat menghitung hasil yang didapat, sedangkan investor baru dipastikan masih ragu-ragu. Jika pun ada pemain baru diproyeksi setelah 2022.

Menurut Redma ekspansi sektor hilir TPT pada dasarnya akan lebih mendorong sektor hulu khususnya di industri petrokimia. Redma mencontohkan di produk etilen glikol yang saat ini baru memiliki satu pemain yakni PT Polyfin Indonesia dan dengan kapasitas yang kecil.

Untuk itu, jika industri TPT mulai ekspansif dan kinerja impor produk etilen glikolnya meningkat maka akan menarik industri petrokimia untuk melakukan investasi baru.

"Etilon sekarang kebutuhannya sekitar 700.000 ton dan baru bisa dipenuhi sekitar 200.000 ton. Jika program subtitusi impor Kemenperin efektif maka kebutuhan dalam negeri bisa meningkat hingga 1,2 jut ton dan ini tentu menarik peluang investasi yang baru," ujar Redma.

Adapun Redma meramalkan utilisasi industri serat dan benang bisa ke atas level 90 persen pada tahun ini. Namun lagi-lagi menurutnya, realisasi proyeksi tersebut hanya dapat terjadi jika pemerintah konsisten dalam melindungi pasar domestik.

Seperti diketahui, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) memiliki tiga titik rantai pasok secara umum, yakni serat dan benang, kain, dan garmen. Redma menyatakan perlindungan impor pada 2021 akan ditekankan pada industri kain nasional.

Hingga akhir 2020, Redma memprediksi volume impor kain dalam segala bentuk akan turun sekitar 11 persen secara tahunan menjadi 800.000 ton.

Redma berujar akan terjadi lonjakan investasi pada industri kain jika volume impor tersebut dapat kembali turun sekitar 15 persen pada 2021 menjadi 680.000 ton. Oleh karena itu, Redma menyarankan agar pemangku kepentingan memiliki satu visi yang sama pada 2021, yakni pengurangan impor.

"Yang bikin Pak Bahlil Lahadalia dimarahi Presiden Joko Widodo karena kebijakan [tata niaga nasional] pro-impor. Kalau Menkeu mau kasih tax allowance, tax holiday, dan insentif fiskal lain tapi tidak punya pasar, ya tidak mungkin ada investasi," ucap Redma.

Kemenperin mencatat laju pertumbuhan industri TPT di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2019, industri TPT mampu tumbuh sebesar 15,35% atau naik signifikan dibanding dengan 2018 yang mencapai 8,73%.

Pada 2017, industri ini tercatat tetap mengalami pertumbuhan di angka 3,83%. Pertumbuhan ini didukung tingginya produksi pakaian jadi di sentra industri TPT.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal II/2020, industri TPT memberikan kontribusi terhadap PDB sektor industri pengolahan non migas sebesar 6,93 persen. Sementara untuk kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, industri TPT menempati urutan keempat menjadi kontributor terbesar yang mencapai 1,24 persen.

Dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, industri TPT nasional ditargetkan masuk ke dalam jajaran lima besar pemain dunia pada tahun 2030. Daya saing sektor ini tecermin dari kinerja ekspornya sepanjang tahun 2019 yang mencapai US$12,89 miliar, dan pada periode Januari-Juli 2020 telah menembus hingga US$6,15 miliar. Selain itu, sebagai sektor padat karya, industri TPT di Indonesia telah menyerap tenaga kerja lebih dari 3,6 juta orang.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin Muhammad Khayam sebelumnya mengatakan industri TPT nasional telah memiliki struktur industri yang cukup lengkap dan terpadu. Di sektor hilir misalnya, terdapat industri stapel dan filamen yang memiliki kapasitas produksi 1 juta ton per tahun dan terintegrasi dengan industri bahan baku kimianya.

Selain itu, di sektor hulu, sejak 2019, industri rayon mengalami peningkatan kapasitas produksi dari 536.000 ton menjadi 856.000 ton per tahun.

"Perkembangan industri rayon terus kami dorong untuk menjadi substitusi impor bahan baku kapas yang selama ini bergantung dari pasokan luar negeri. Pada industri benang, kita juga memiliki kapasitas yang cukup besar hingga 3,2 juta ton per tahun yang juga menjadi andalan ekspor setelah pakaian jadi," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper