Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Senior Faisal Basri menilai kebijakan pengembangan dymethil ether (DME) dan biodiesel untuk menekan subsidi bukanlah langkah yang tepat.
Menurutnya, pengembangan DME sebagai subtitusi LPG saat ini belum ekonomis dan harganya akan lebih mahal daripada LPG. Dengan demikian, penggunaan bahan bakar yang diolah dari batu bara tersebut sebagai subtitusi LPG berpotensi menimbulkan beban subsidi baru.
"Ini tidak mungkin memproses batu bara jadi DME dapat bersaing dengan gas alam. Tuhan menganugerahi kita gas alam yang murah dan Anda mencoba hal yang berbeda dengan membuat proses yang lebih lama dan lebih mahal demi menghemat anggaran subsidi LPG," katanya dalam webinar Indonesia Energy Transition Dialogue 2020, Rabu (9/12/2020).
Di sisi lain, kebijakan mandatori campuran 30 persen biodiesel (FAME/fatty acid methyl ester) dalam minyak solar atau B30 juga dinilai kurang tepat.
Berdasarkan studinya, biaya untuk impor solar lebih rendah dari opportunity cost menggunakan FAME. Pengembangan B30 yang diharapkan dapat menekan impor solar justru berdampak negatif terhadap neraca perdagangan.
"Kita mau perbaiki neraca perdagangan atau current acount balance kita tapi nyatanya berkontribusi ke defisit, kalau tidak salah US$ 5 miliar," ujar Faisal.
Baca Juga
Dia menambahkan, kebijakan pengembangan biodiesel juga bertentangan dengan kebijakan moratoriu pembukaan lahan perkebunan. Pasalnya, bila B30 terus dikembangkan, setidaknya dibutuhkan tambahan lahan sekitar 6-7 juta hektar lahan untuk biofuel pada 2025.
"Ini bukan langkah yang tepat untuk transisi energi, transisi dari yang buruk ke yang lebih buruk," katanya.