Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyatakan pemerintah seharusnya mengeluarkan dua instrumen pada 2020 yang mendorong hilirisasi CPO, yakni bea keluar dan pungutan ekspor. Namun, masalah itu berlarus sudah waktunya ada evaluasi harga solar.
Ketua Umum GIMNI Sahat Sinaga menyatakan pemerintah seharusnya akan menaikkan dana pungutan (DP) ekspor CPO dan bea keluar CPO pada kuartal IV/2020. Namun demikian, pemerintah pada akhirnya mendahulukan kenaikan DP CPO.
"Iya [bea keluar akan dinaikkan], tapi karena masa pandemi ini bea keluarnya jangan dulu [dinaikkan]. DP ini bisa menutup [selisih] harga antara harga solar dan biodiesel," katanya kepada Bisnis, Senin (7/12/2020).
Dengan kata lain, pendahuluan kenaikan DP ekspor CPO ditujukan untuk penyelamatan industri biodiesel nasional. Hal tersebut mengingat tren pertumbuhan harga CPO akan terus berlanjut pada 2021.
Seperti diketahui, solar nonsubsidi memiliki harga di kisaran Rp9.500 per liter, sedangkan harga biodiesel di kisaran Rp9.505. Namun demikian, harga CPO terus meningkat dari Rp9.100 per Kilogram pada Juli 2020 menjadi sekitar Rp9.400 pada November 2020.
Oleh karena itu, Sahat menilai sudah waktunya ada evaluasi terkait dengan penentuan harga biodiesel, harga solar, dan kebijakan solar subsidi. Menurutnya, hal tersebut penting lantaran kenaikan DP dan bea keluar CPO yang berlarut-larut dapat kontraproduktif terhadap ekosistem industri CPO nasional.
Sahat mengusulkan agar jenis solar subsidi dihapuskan karena banyak konsumen penerima solar subsidi justru menjual kembali sebagian solar tersebut ke pasar. Seperti diketahui, Keputusan Menteri ESDM No. 83,k/12/MEM/2020 tentang Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan menetapkan harga solar subsidi senilai Rp5.150/ liter
"Jadi, pemerintah melakukan dua arah: harga solar dinaikkan, tapi untuk efektif harga solar subsidi dihapus saja karena tidak bisa dikontrol [pemakaiannya di lapangan]" kata Sahat.
Di sisi lain, harga CPO pada 2021 diproyeksi stabil di kisaran 9.600 per Kilogram. Dengan kata lain, harga CPO pada 2021 akan naik sekitar 2,12 persen tahun depan dari posisi November 2020.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mencatat harga TBS telah menembus level RM2.100 per ton dari posisi tahun lalu sekitar RM1.500 per ton. Menurutnya, angka tersebut akan terus tumbuh pada 2021 dengan adanya peluncuran program B40 oleh pemerintah.
"Kalau prediksi saya, [harga] TBS petani kelapa sawit akan mendekati RM2.500 per tahun. Apalagi tahun depan akan launching program B40. Harga TBS petani seja ada [program] biodiesel tidak pernah di bawah RM1.500 per ton lagi," katanya.