Bisnis.com, JAKARTA - Institut Studi Transportasi (Instran) mengingatkan agar rencana merger Gojek dan Grab tidak menimbulkan monopoli, sehingga bisa menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang tidak memiliki alternatif lain.
Pendiri Insititut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas menilai bagi Grab dan Gojek, keputusan merger atau tidak pasti didasarkan pada kalkulasi bisnis. Artinya, ketika pilihannya adalah merger, pasti sudah pasti itu menguntungkan, karena kalau tidak menguntungkan tidak bakal dipilih.
"Yang dirugikan atas merger mereka adalah konsumen karena tidak ada pilihan memilih layanan transportasi yang lebih murah, selamat, aman, dan nyaman," kata Darmaningtyas dalam siaran pers, Selasa (8/12/2020).
Di sisi lain, kata dia, layanan taksi regular juga sudah rontoh semua, dari 26 perusahaan taksi regular yang beroperasi di wilayah DKI Jakarta, yang eksis tinggal tiga saja, itu pun yang dua sudah kembang kempis tinggal menunggu waktu saja.
Dia menambahkan jika Grab dan Gojek merger, masyarakat dihadapkan pada pilihan yang jauh lebih terbatas dibandingkan dengan kondisi sebelum adanya layanan angkutan online, karena kondisi sebelum ada angkutan online tersebut layanan taksi regular dilakukan banyak operator dengan kualitas layanan yang beragam dan tariff yang beragam pula. Namun, mayoritas sudah tumbang, maka pilihannya sekarang tinggal sedikit.
Selama ini, lanjutnya, di sektor angkutan online masih ada persaingan antara Gojek dan Grab, sehingga memberikan peluang kepada masyarakat untuk memilih yang termurah. Kalau nanti mereka merger, hanya ada satu harga layanan.
Baca Juga
"Masyarakat yang dulu bersorak sorai karena adanya layanan transportasi yang murah, ke depan akan berbalik menangis mengapa perusahaan-perusahaan taksi regular itu dimatikan oleh angkutan online sehingga masyarakat punya pilihan lain lagi," ujarnya.
Darmaningtyas berpendapat masyarakat tidak memiliki hak untuk bisa menolak rencana merger Gojek dan Grab. Itu semua tergantung pada pemilik saham kedua belah pihak.