Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut investasi proyek penghiliran batu bara menjadi dimetil eter masih ekonomis dalam skala keenomiannya.
Pada November 2020, terdapat kajian yang dilakukan oleh lembaga think tank yang menyebutkan bahwa proyek dimetil eter (DME) tidak masuk skala keekonomian dan menyebabkan kerugian tahunan sekitar US$377 juta.
Ketika menanggapi hal itu, Dadan Kusdiana, Plt. Kepala Badan Litbang Kementerian ESDM, mengatakan bahwa Tim Kajian Hilirisasi Batubara Balitbang ESDM melakukan analisis dan konfirmasi antara kajian lembaga think tank dan studi kelayakan PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) sehingga didapat bahwa proyek DME secara ekonomi layak dijalankan.
Asumsi harga liquefied petroleum gas (LPG) yang digunakan lembaga think tank tersebut sebesar US$365 per ton yang hanya mencerminkan harga kondisi pada 2020 saat permintaan energi rendah pada masa pandemi.
Sementara itu, asumsi harga LPG pada studi kelayakan PTBA sekitar US$600 per ton mencerminkan harga LPG rata-rata dalam 10 tahun terakhir. Perbedaan tersebut sangat berpengaruh terhadap harga jual DME.
Dia menambahkan bahwa perbedaan lainnya terkait asumsi harga batu bara dan kapasitas input batu bara. Asumsi harga batu bara yang digunakan lembaga think tank sebesar US$30 per ton.
Baca Juga
Sementara itu, studi kelayakan PTBA sekitar US$21 per ton yang merupakan harga batu bara PTBA kualitas rendah pada saat studi kelayakan dibuat. Terkait dengan input batu bara terdapat selisih sebesar 500.000 ton, dengan studi kelayakan PTBA lebih efisien.
Menurut Dadan, metode perhitungan yang digunakan lembaga think tank sangat sederhana hanya memperlihatkan perhitungan 1 tahun dengan asumsi biaya produksi DME sebesar US$300 per ton yang mengacu pada referensi pembangkit listrik Lanhua di China.
Sementara itu, PTBA telah melakukan studi kelayakan komprehensif dengan asumsi data yang menghasilkan keekonomian proyek dengan net present value US$350 juta dan internal rate of return sekitar 11 persen sehingga proyek ekonomis dan tidak rugi. Selain itu, studi kelayakan PTBA juga mempertimbangkan dampak ekonomi lainnya.
"Perbedaan hasil kajian karena perbedaan asumsi data yang digunakan metode perhitungan dan pertimbangan multiplier effect dari proyek," ujarnya melalui siaran pers, Senin (7/12/2020).
Dadang menjelaskan bahwa cadangan batu bara Indonesia relatif lebih besar dibandingkan dengan minyak dan gas bumi.
Status terakhir cadangan emas hitam tersebut tercatat sekitar 38 miliar ton. Tingkat produksi sekitar 600 juta ton, usia cadangan batu bara Indonesia diperikirakan sekitar 63 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.
Dalam rangka mendorong kebijakan penghiliran batu bara, pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar nol persen. Hal tersebut, tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Salah satu proyek DME yang sedang berjalan dilakukan oleh konsorsium PTBA, Pertamina, dan Air Product, dengan kapasitas input batu bara 6 juta ton per tahun untuk dapat memproduksikan 1,4 juta ton DME.