Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan kondisi sektor jasa keuangan masih stabil dan terjaga di tengah upaya mendorong pemulihan ekonomi nasional yang terkena dampak pandemi Covid-19.
Rapat Dewan Komisioner (RDK) bulanan OJK profil risiko dan permodalan sektor jasa keuangan dalam kondisi yang terjaga. Hal itu terlihat dari rasio NPL gross pada Oktober 2020 sebesar 3,15% (NPL nett 1,03%) dan rasio NPF perusahaan pembiayaan mencapai 4,7%.
Terjaganya NPL dan NPF saat ini banyak ditopang oleh kebijakan restrukturisasi kredit dan pembiayaan yang terealisasi hingga 26 Oktober 2020 mencapai Rp932,4 triliun untuk 7,53 debitur perbankan. Jumlah tersebut terdiri dari restrukturisasi kredit UMKM Rp369,8 triliun untuk 5,84 juta debitur, dan non-UMKM senilai Rp562,5 triliun untuk 1,69 juta debitur.
Adapun realisasi restrukturisasi pembiayaan hingga 17 November 2020 mencapai Rp181,3 triliun untuk 4,87 juta kontrak,.
Sementara itu, risiko nilai tukar perbankan dapat dijaga pada level yang rendah. Hal itu terlihat dari rasio Posisi Devisa Neto (PDN) Agustus 2020 sebesar 2,31%, jauh di bawah ambang batas ketentuan sebesar 20%.
Kemudian, likuiditas dan permodalan perbankan juga berada pada level yang memadai. Rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK per 18 November 2020 terpantau pada level 157,57% dan 33,77%, di atas threshold masing-masing sebesar 50% November dan 10%.
Sedangkan permodalan lembaga jasa keuangan sampai saat ini relatif terjaga pada level yang memadai. Capital Adequacy Ratio perbankan tercatat 23,74%, serta Risk-Based Capital industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing sebesar 539% dan 337%, jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120%.
Begitu juga dengan gearing ratio perusahaan pembiayaan yang tercatat sebesar 2,28%, jauh di bawah maksimum 10%.
DORONG INTERMEDIASI
OJK juga mencatat data Oktober 2020 menunjukkan kinerja intermediasi sektor jasa keuangan masih sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional. DPK masih tumbuh di level tinggi sebesar 12,12% yoy, didorong oleh pertumbuhan DPK BUKU 4 yang mencapai 13,79% yoy.
Sementara itu, perbankan mencatatkan kredit baru sebesar Rp130,92 triliun, namun tingginya pelunasan kredit dan hapus buku oleh perbankan untuk memitigasi risiko kredit menyebabkan pertumbuhan kredit terkontraksi sebesar -0,47% yoy.
Kontraksi kredit perbankan lebih banyak disebabkan oleh menurunnya kredit modal kerja karena masih tertekannya permintaan pada sektor usaha.
OJK akan mendorong intermediasi perbankan pada beberapa sektor usaha yang mulai kembali pulih, seperti asuransi dan dana pensiun, jasa penunjang perantara keuangan, industri kimia, farmasi dan obat tradisional, administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib serta sektor pengadaan air, pengolahan sampah, serta limbah dan daur ulang.
Di industri keuangan non-bank, piutang perusahaan pembiayaan terkontraksi -15,7% yoy seiring belum pulihnya pasar kendaraan bermotor yang merupakan sektor ekonomi dengan kontribusi terbesar dalam pembiayaan.
Sementara itu, industri asuransi tercatat menghimpun penambahan premi sebesar Rp26,6 triliun, yang terdiri dari asuransi jiwa Rp18,1 triliun, asuransi umum dan reasuransi Rp8,5 triliun. Kemudian fintech P2P Lending pada Oktober 2020 mencatatkan outstanding pembiayaan Rp13,24 triliun, tumbuh 18,4% yoy.
Selanjutnya, jumlah penawaran umum yang dilakukan emiten di pasar modal hingga 24 November 2020 mencapai 149, dengan total nilai penghimpunan dana Rp100,1 triliun. Dari jumlah penawaran umum tersebut, 44 di antaranya dilakukan oleh emiten baru.
Dalam pipeline saat ini terdapat 58 emiten yang akan melakukan penawaran umum dengan total indikasi penawaran sebesar Rp21,76 triliun.
OJK akan terus mengoptimalkan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional melalui penguatan peran sektor jasa keuangan. OJK juga berkomitmen kuat untuk mendukung program percepatan pemulihan ekonomi nasional dan siap mengeluarkan kebijakan stimulus lanjutan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.
Ke depan, OJK sudah memutuskan untuk memperpanjang masa waktu kebijakan restrukturisasi kredit perbankan yang seharusnya selesai pada Maret 2021 menjadi Maret 2022, dengan penambahan substansi yang lebih detail.
Otoritas juga memastikan akan mengoptimalkan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional melalui penguatan peran sektor jasa keuangan. Lembaga tersebut juga terus memperkuat koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk terus menjaga stabilitas sistem keuangan.