Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja ekspor produk kimia Indonesia masih terhambat oleh sejumlah tuduhan trade remedies di negara tujuan. Dumping menjadi tuduhan yang paling banyak dilayangkan mitra dagang RI untuk produk kimia yang diekspor.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Marthin Simanungkalit mengemukakan bahwa sepanjang 1995 sampai September 2020, produk kimia Indonesia mendapat 62 tuduhan trade remedies. Dari jumlah tersebut, 43 di antaranya merupakan penyelidikan antidumping.
“Dari 43 tuduhan ini, 18 di antaranya berakhir dengan pengenaan bea masuk antidumping [BMAD], 20 dihentikan, dan 5 kasus masih dalam proses,” kata Marthin dalam sebuah webinar, Senin (23/11/2020).
Marthin mengatakan pengenaan BMAD harus menjadi perhatian bagi perusahaan terkait mengingat otoritas negara penuduh dapat melakukan perpanjangan masa berlaku tarif. Dalam aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), BMAD bisa terus diberlakukan selama negara penuduh menyertakan bukti bahwa kerugian dari aksi dumping masih dirasakan industri domestik.
“Ini harus menjadi perhatian karena sekali perusahaan dikenai BMAD, otoritas negara penuduh bisa terus memperpanjang durasi pengenaan sehingga merugikan ekspor ke negara tersebut,” lanjutnya.
Sampai saat ini, delapan produk kimia Indonesia disebut Marthin tengah menghadapi kasus trade remedies yang terdiri atas 5 kasus antidumping dan 3 kasus safeguard. India menjadi negara paling aktif yang memulai penyelidikan.
Baca Juga
Dalam hal banyaknya penyelidikan antidumping yang diinisiasi negara penuduh, Marthin mengharapkan agar perusahaan dapat bersikap kooperatif karena posisi perusahaan sebagai objek utama dalam penentuan margin dumping yang berakhir pada pengenaan BMAD.
Perusahaan diharapkan dapat menyajikan data yang akan diverifikasi otoritas negara penuduh dan mengikuti proses yang ada karena pengenaan BMAD biasanya didasari oleh data yang disajikan perusahaan (best information available), bukan oleh pemohon di negara penuduh.
“Dengan bersikap kooperatif, akan terbuka kesempatan perusahaan tidak melakukan ekspor dengan unfair sehingga dibebaskan atau dikenakan bea masuk yang rendah,” kata Marthin.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa ekspor produk kimia dengan kode HS 28-38 tercatat terus meningkat dari US$8,3 miliar pada 2015 menjadi US$12,4 miliar pada 2018. Ekspor sempat mengalami penurunan pada 2019 menjadi US$11,4 miliar dan ekspor pada Januari-September 2020 turun 11,31 persen menjadi US$7,8 miliar.
Meski ekspor mengalami kontraksi selama pandemi, Marthin mengemukakan bahwa produk kimia memiliki potensi di pasar ekspor seiring dengan tumbuhnya produk-produk kesehatan dan kebersihan. Di Tanah Air, industri kimia dan farmasi bahkan masih menunjukkan pertumbuhan positif yakni 8,65 persen pada kuartal II dan 14,96 persen pada kuartal III 2020.
“Produk kimia semakin esensial keberadaannya, terutama saat pandemi Covid-19. Sebut saja produk disinfektan dan hand sanitizer yang menggunakan bahan kimia sebagai bahan baku. Produk kimia pun dipakai sebagai bahan baku untuk vitamin dan produk farmasi,” kata Marthin.