Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Impor Melonjak, KPPI Mulai Selidiki Impor Barang EPS

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, dalam tiga tahun terakhir (2016-2019) terjadi peningkatan jumlah impor EPS dengan rata-rata kenaikan 7,94 persen per tahun. 
Ilustrasi - salah satu industri kimia di Provinsi Banten
Ilustrasi - salah satu industri kimia di Provinsi Banten

Bisnis.com, JAKARTA – Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia secara resmi memulai penyelidikan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard measures) atas lonjakan jumlah impor barang Expansible Polystyrene (EPS) terhitung mulai 18 November 2020.

Penyelidikan dilakukan setelah Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) menerima permohonan PT Kofuku Plastic Indonesia (KPI) atas nama industri dalam negeri penghasil komoditas tersebut pada 6 November 2020. 

Ketua KPPI Mardjoko mengatakan barang yang diselidiki adalah EPS dalam bentuk butiran dengan kode Harmonized System (HS) 3903.11.10 sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2017. 

“Dari bukti awal permohonan yang diajukan oleh PT KPI, KPPI menemukan adanya lonjakan jumlah impor barang EPS. Selain itu, terdapat indikasi awal mengenai adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami oleh industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah impor barang EPS,” ujar Mardjoko dalam keterangan resmi, Rabu (18/11/2020). 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, dalam tiga tahun terakhir (2016-2019) terjadi peningkatan jumlah impor EPS dengan rata-rata kenaikan 7,94 persen per tahun. 

Pada 2016, jumlah impor naik 23.867 ton. Kemudian naik sebesar 10,82 persen pada 2017 menjadi 26.451 ton. Pada 2018 terjadi kenaikan 4,77 persen menjadi 27.712 ton dan pada 2019 naik 9,38 persen menjadi 30.312 ton. 

Negara asal impor produk kertas EPS antara lain Taiwan dengan pangsa pasar 31,16 persen, Jepang dengan pangsa 25,17 persen, China sebesar 16,44 persen, Vietnam 8,31 persen, Thailand 5,19 persen, India 4,75 persen, Korea Selatan 4,42 persen, dan negara lainnya dengan pangsa pasar 4,56 persen. 

Sementara itu, kerugian serius atau ancaman kerugian serius tersebut, menurut Mardjoko, terlihat dari beberapa indikator kinerja industri dalam negeri pada 2016—2019. Indikator tersebut di antaranya penurunan volume produksi dan penjualan domestik yang berdampak terhadap penurunan keuntungan secara terus menerus. 

Selain itu, ada peningkatan volume persediaan akhir atau jumlah barang yang tidak terjual, penurunan kapasitas terpakai, berkurangnya jumlah tenaga kerja, serta penurunan pangsa pasar industri dalam negeri di pasar domestik. 

"KPPI telah menyampaikan informasi terkait dimulainya penyelidikan tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti industri dalam negeri, eksportir, eksportir produsen, dan importir. Pihak-pihak  yang berkepentingan dipersilakan mendaftarkan diri selambat-lambatnya 15 hari sejak tanggal pengumuman ini. Pendaftaran dapat disampaikan secara tertulis kepada KPPI," kata Mardjoko.

Mardjoko menambahkan pihak yang berkepentingan akan diberikan kesempatan untuk menyampaikan tambahan informasi, tanggapan secara tertulis, dan/atau permintaan dengar pendapat (hearing) yang berkaitan dengan penyelidikan dan kerugian.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper