Bisnis.com, JAKARTA -- Akhirnya, Joe Biden berhasil memenangkan laga pemilihan Presiden 2020 dan terpilih sebagai Presiden ke-46 Negeri Paman Sam. Seluruh mata dunia terus mencermati perkembangan yang terjadi di sana sambil.
Salah satu aspek ekonomi yang menarik untuk dikaji jika Biden berkantor di Gedung Putih adalah bisnis maritim, khususnya pelayaran. Walaupun bendera “Stars and Stripes” sudah tidak berseliweran lagi di delapan penjuru mata angin, AS tetap memiliki peran penting dalam bisnis ini.
Dulu, bendera AS dikibarkan di atas kapal-kapal, salah satunya, American President Lines (APL). Perusahaan ini bisa dibilang national flag carrier-nya negara tersebut karena ada saham pemerintah yang cukup signifikan di dalamnya yang diakuisisi dari Dollar Steamship Co. yang terbelit masalah keuangan. Akuisisi ini diikuti dengan perubahan nama perusahaan menjadi American President Lines.
Pertanyaannya kini, bagaimana sikap Biden terhadap bisnis pelayaran? Apa pengaruh faktor ini dalam kebijakan kemaritimannya dan bagaimana prospek bisnis pelayaran kelak?
Sebelum lebih jauh, harus penulis akui bahwa meraba sikap presiden terpilih Joe Biden – juga Presiden Trump – terhadap bidang kemaritiman relatif sulit karena isu ini tidak dibunyikan secara spesifik dalam kampanye kedua kontestan. Karenanya, membaca sikap kemaritiman Biden dilakukan dengan mem-benchmark-nya terhadap kebijakan presiden AS incumbent.
Komunitas pelayaran/kemaritiman internasional (seperti yang dilansir oleh portal Splash247.com dan VesselValue) menilai naiknya Joe Biden akan mendorong pelayaran curah kering atau dry bulk dan peti kemas lebih berkembang lagi. Prediksi ini merupakan antitesis dari kebijakan Trump yang lebih mendorong berkembangnya pelayaran tanker. Pelayaran dry bulk dan kontainer dalam kebijakan Trump tidak/kurang mendapat tempat karena dia berperang dagang dengan China.
Secara umum, pelayaran dry bulk dipahami pengangkutan komoditas yang tidak dikemas dalam kantong seperti biji jagung, gandum dan lainnya yang dimuat langsung ke dalam kapal menggunakan conveyor atau clamshell grab. Adapun pelayaran peti kemas melayani shipment komoditas atau barang, lazimnya barang manufaktur, dalam wadah yang terbuat dari baja berukuran 20 kaki maupun 40 kaki.
Menuai Keuntungan
Bila perkiraan kalangan kemaritiman atas kecenderungan Biden di muka benar, maka operator kapal dry bulk dan peti kemas akan menuai keuntungan besar dari pengiriman komoditas dan barang manufaktur dari dan ke AS. Pasalnya, negeri ini merupakan produsen grain (gandum, jagung, kedelai, dll) terbesar di dunia.
Bila dalam pelayaran dry bulk AS berada dalam posisi di atas angin karena dia produsen grain terbesar di dunia, tidak demikian halnya dengan pelayaran kontainer. Di sektor yang satu ini negeri Paman Sam boleh dibilang “berdarah-darah”.
Dikutip dari National Retail Federation (NRF), total impor manufaktur AS mencapai 21,8 juta twenty foot equivalent unit/TEU pada 2018. Pada 2019, angkanya diperkirakan akan menyundul 22 juta TEU. Apakah perkiraan ini terealisasi? Tak terbaca ada penjelasannya. Peti kemas sebanyak itu berasal dari berbagai negara di Asia, termasuk Indonesia.
Lagi-lagi, karena perang dagang AS vs China, arus peti kemas yang ada terhenti. Sebagai gantinya, Trump memilih menggenjot bisnis pelayaran tanker. Dia memacu industri perminyakan agar berproduksi lebih banyak untuk pasar ekspor. Trump juga melarang armada besar tanker (dengan kapasitas angkut di atas 1 juta barel) beroperasi dari dan ke AS. Peluang bisnis operator tanker kelas menengah (di bawah 1 juta barel) pun akhirnya terbuka lebar dengan kebijakannya.
“Bulan madu” pelayaran tanker dengan pusat kekuasaan negeri Paman Sam sepertinya akan berakhir dengan naiknya Joe Biden ke tampuk pemerintahan AS. Dan, pelayaran dry bulk dan peti kemas akan bersemi. Begitulah ramalan para analis pelayaran global. Kita lihat kondisinya begitu Joe Biden menjalankan roda pemerintahan pada tahun depan.
Apa manfaat ramalan atas prospek bisnis pelayaran dengan terpilihnya Joe Biden sagi Indonesia? Yang jelas, kita mempunyai komoditas dan industri manufaktur yang cukup lumayan sehingga Indonesia berpeluang besar mengembangkan sektor pelayaran dry bulk dan peti kemas. Salah satu upaya mengembangkannya adalah dengan relaksasi bisnis pelayaran dalam negeri. Dan, relaksasi itu dapat dilakukan antara lain dengan menjalankan kebijakan open registry.
Open registry adalah kebijakan negara bendera (flag state) yang memberikan kesempatan kepada pemilik kapal dari seluruh dunia, tidak terbatas hanya kepada warga negara bersangkutan, untuk memakai benderanya. Pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuka peluang untuk mewujudkan gagasan register terbuka itu. Soalnya, aturan ini memberikan banyak kemudahan kepada pengusaha/investor.
Agar open registry bisa berjalan baik mutlak disiapkan berbagai perlakuan khusus atau kemudahan di bidang perpajakan dan perizinan.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Sabtu (21/11/2020)