Bisnis.com, JAKARTA - Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol (minol) memantik diskusi ruang publik, maupun di sebuah grup WhatsApp. Ada yang pro, tapi kebanyakan justru kontra.
Yang kontra umumnya mempertanyakan alasan dan motivasi para inisiator RUU tersebut. Seorang teman sebut saja Harry kemudian membagikan berita soal RUU Larangan Minol.
Harry merupakan wartawan senior di Bali. Judul berita yang dia bagikan ke grup WhatsApp (WA) kurang lebih begini: "Peminum Minuman Beralkohol Dibui 3 Tahun atau Didenda Rp50 juta". Provokatif!
Tetapi, terlepas dari pro kontra yang sedang terjadi, dia paham betul, RUU tersebut sangat sensitif bagi orang Bali yang mayoritas Hindu Bali. Bali adalah sebuah kasus sendiri. Sebagai pusat pariwisata, selain alam dan budaya, alkohol jadi catatan tersendiri bagi pariwisata Bali.
Arak Bali bisa jadi salah satu contoh dalam kasus ini. Arak sudah mendarah daging dalam adat Bali dan Nusantara. Catatan sejarah menunjukkan bahwa minol sudah dikenal sejak zaman Singasari dan Mahapahit di Jawa Timur.
Minol arak atau tuak biasanya disediakan kepada tamu agung atau saat ada acara keagamaan. Raja Singasari Kertanegara bahkan tewas ketika sedang mabuk dan melakukan ritual keagamaan.
Baca Juga
Sejatinya, gonjang-ganjing soal RUU minol ini bermula dari tingkah polah politisi Jakarta. RUU Anti Minol merupakan inisiasi dari tiga partai Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Gerindra.
Dua partai pertama adalah partai berbasis agama dan dikenal sangat konservatif. Sementara partai Gerindra, merupakan partai nasionalis, tetapi belakangan memang sering berkolaborasi dengan partai-partai yang konservatif. Yang jelas tiga partai ini tak memiliki suara signifikan di Bali, pengecualian untuk Gerindra di Klungkung.
Politisi Senior PKS, Hidayat Nur Wahid memberikan pembelaan dan seolah mengesankan bahwa larangan minol bukan suatu hal yang baru. Dia mencontohkan kasus Papua. Menurutnya, semua fraksi di DPRD Papua setuju dengan Perda No:15/2013 yang dibuat oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe tentang larangan minuman beralkohol.
"Wajarnya semua fraksi di DPRRI tak kalah peduli dengan Papua, untuk setujui RUU Larangan Minuman beralkohol itu," cuit pria yang akrab disapa HNW itu dikutip Bisnis, Senin (16/11/2020).
Namun kasus Papua tak bisa disamakan dengan kasus Bali atau kasus di daerah lain. Bali punya riwayat sendiri terkait rencana pelarangan minuman beralkohol (minol). Kejadian tahun 2015 menjadi momen yang perlu diambil oleh pemerintah dan DPR dalam merumuskan undang-undang.
Peristiwa itu bermula dari pertemuan antara Rachmat Gobel yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan dengan para penjual bir dan minol di Bali. Pertemuan awalnya berjalan lancar. Rachmat Gobel memberikan penjelasan terkait kebijakan pemerintah yang akan membatasi penjualan minol di tingkat eceran.
Baru setengah jalan memberikan penjelasan, para pedagang naik pitam. Mereka menyoraki Rachmat Gobel. Para pedagang menganggap kebijakan tersebut tidak pro rakyat kecil dan akan mematikan mata pencarian mereka. Situasi waktu itu sangat tegang.
Singkat cerita, pertemuan berakhir dengan kesepakatan pemerintah untuk mempertimbangkan kasus Bali. Pedagang minol di Bali sedikit bernafas lega. Namun, selang lima tahun kemudian, keputusan Baleg yang tiba-tiba membahas RUU anti Minol kembali mengorek luka lama. Para rakyat dan politisi asal Bali pun bersuara.
Anggota DPR RI dari daerah pemilihan (Dapil) Bali AA Bagus Adhi Mahendra Putra menekankan, Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) tidak boleh mengesampingkan kearifan lokal tiap daerah.
Pasalnya, Bali merupakan daerah destinasi pariwisata yang tidak sedikit wisatawannya, baik dari dalam negeri maupun mancanegara yang mengkonsumsi alkohol. Belum lagi, kegiatan adat masyarakat Bali salah satu sarananya adalah arak dan berem.
Dia menekankan di Bali jika berbicara miras, satu kebutuhan pariwisata, yang kedua itu bisa menggerakkan ekonomi kerakyatan. Sebagai contoh, pembuat arak, untuk membuat arak para pangrajin atau produsen arak perlu melewati beberapa rangkaian mulai dari manjat kelapa hingga menjadi arak.
"Itu hidup ekonomi kerakyatannya di situ. Jadi janganlah membuat undang-undang yang akan merugikan kehidupan masyarakat," dalam sebuah keterangan resmi.
Penerimaan Cukai
Terlepas dari pro dan kontra pembasan RUU Anti Minol, pemerintah sebenarnya memiliki keuntungan dari peredaran minuman beralkohol. Keuntungan itu didapat dari pembayaran cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA), yang nilainya triliunan tiap tahun
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan bahwa penerimaan cukai MMEA sampai September 2020 mencapai Rp3,61 triliun atau terkontraksi 23% dibandingkan realisasi 2019 yang mencapai Rp4,68 triliun. Kontraksi penerimaan cukai MMEA ini terjadi akibat pandemi Covid-19.
Sayangnya, berbeda dengan pengusaha rokok yang mendapat relaksasi. Pengusaha MMEA nyatanya sangat minim relaksasi pandemi. Padahal, sektor ini sangat tertekan oleh penurunan konsumsi akibat anjloknya industri pariwisata.
Pemerintah sebenarnya telah berjanji untuk memberikan relaksasi serupa kepada minuman beralkohol golongan A atau bir dan sejenisnya.
Direktur Teknis & Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea & Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto mengatakan selain rokok, relaksasi pembayaran cukai juga perlu diarahkan ke produsen minuman beralkohol golongan A yang bisnisnya juga terdampak pandemi Corona.
Minuman beralkohol golongan A merupakan minuman dengan kadar alkohol 1 persen - 5 persen. "Yang kemarin kan untuk yang berpita cukai relaksasinya. Sedangkan yang golongan A tidak ada pitanya, mereka tetap bayar normal, makanya kita cari cara untuk membantu mereka," kata Nirwala kepada Bisnis, belum lama ini.
Namun demikian, lanjut Nirwala, upaya merumuskan kebijakan untuk minuman beralkohol golongan A, tidak semudah rokok dan golongan yang berpita cukai.
Dia menyebutkan bahwa pembayaran cukai golongan A dibayarkan secara berkala, sedangkan diundang-undang bisa dilakukan relaksasi namun hanya 10 hari.
"Kalau 10 hari kan tidak berpengaruh, ini yang sedang kami diskusikan dengan pelaku usaha," ujarnya.
Ketidakpasian relaksasi dan rencana DPR yang akan membahas RUU Anti Minol tentu akan semakin memukul bisnis pariwisata dan perusahaan minol.
Padahal, dari sisi persentase tingkat konsumsi minuman beralkohol penduduk Indonesia sangatlah rendah, hanya 0,2% atau setara dengan 1 mililiter per orang (Studi Diet Total Survey Konsumsi Makanan Individu Indonesia).
Dengan data dan kondisi tersebut, semestinya pembahasan RUU Anti Minol harus mempertimbangkan kondisi Indonesia yang sangat beragam. Jangan membuat kebijakan yang terkesan sektarian. Semua pihak harus diakomodir dan diajak bicara untuk menghindari kegaduhan.