Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Meski Ada Pandemi, Registrasi Obat Tak Melejit

Industri farmasi diramal tak memiliki kinerja yang moncer tahun ini kendati pandemi Covid-19 menuntut masyarakat membutuhkan berbagai produk kesehatan dalam menunjang aktivitas sehari-hari. Hal itu selaras dengan kegiatan pendaftaran obat baru setahun ini.
Favipiravir, obat yang bisa digunakan untuk terapi COVID-19 hasil produksi dari PT Kimia Farma, Tbk/ Dok. Humas Bio Farma
Favipiravir, obat yang bisa digunakan untuk terapi COVID-19 hasil produksi dari PT Kimia Farma, Tbk/ Dok. Humas Bio Farma

Bisnis.com, JAKARTA — Industri farmasi diramal tak memiliki kinerja yang moncer tahun ini kendati pandemi Covid-19 menuntut masyarakat membutuhkan berbagai produk kesehatan dalam menunjang aktivitas sehari-hari. Hal itu selaras dengan kegiatan pendaftaran obat baru setahun ini.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat jumlah permohonan registrasi obat pada 2018 sebanyak 10.449 permohonan dan dari jumlah itu yang disetujui sebanyak 6.976 permohonan. Pada 2019 jumlah permohonan 15.120 permohonan dengan jumlah yang disetujui 11.094 permohonan. Artinya ada kenaikan untuk jumlah permohonan yang masuk sebesar 31 persen dan permohonan yang disetujui sebesar 37 persen.

Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan kenaikan permohonan registrasi obat dari 2018 ke 2019 karena adanya kenaikan pada permohanan registrasi baru obat generik dari 907 permohonan yang disetujui menjadi 1.407 permohonan yang disetujui pada 2019.

Faktor yang mendorong kenaikan permohonan registrasi baru obat generik ini karena banyak industri farmasi yang mengajukan persetujuan baru untuk obat generik yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan obat pada pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

"Pertengahan 2019 dengan pernyataan komitmen pemerintah dalam mengatasi defisit BPJS menimbulkan kepercayaan industri farmasi untuk memproduksi obat khususnya obat generik untuk memenuhi kebutuhan obat nasional. Sementara tahun ini dalam kondisi pandemi tingkat pengajuan registrasi jumlahnya kurang lebih sama dengan 2019, belum ada peningkatan atau penurunan jumlah permohonan secara signifikan," katanya kepada Bisnis, Minggu (15/11/2020).

Penny mengemukakan sampai dengan kuartal III/2020 permohanan registrasi yang masuk sejumlah 9.678 permohonan dan yang disetujui sejumlah 6.681 permohonan. BPOM pun telah melakukan upaya simplifikasi dan percepatan waktu registrasi serta sistem registrasi secara online selama pandemi agar mendorong pelaku usaha atau industri farmasi untuk tetap mengajukan registrasi obat.

Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin Muhammad Taufik pun menilai jumlah persetujuan registrasi obat akan menurun tahun ini. "Ada kemungkinan di 2019 banyak yang melakukan pembaruan nomor izin edar agar bisa masuk lelang daftar obat dalam katalog elektronik pemerintah."

Dengan kata lain, pabrikan farmasi akan memperbarui nomor izin edar (NIE) tiap produknya agar bisa masuk dalam daftar obat lelang JKN. Pasalnya, jika masa NIE suatu obat habis, obat tersebut tidak bisa mengikuti lelang obat JKN yang diadakan tiap tahunnya.

Taufik menduga lonjakan yang terjadi pada 2019 disebabkan oleh lelang daftar obat JKN yang diadakan pada 2020. Artinya, lonjakan persetujuan registrasi obat pada 2019 tidak disebabkan olah melonjaknya inovasi proses produksi maupun inovasi produk.

Menurutnya, pandemi Covid-19 juga tidak akan meningkatkan jumlah persetujuan registrasi obat pada tahun ini. Pasalnya, obat yang digunakan untuk perawatan terapeutik pasien Covid-19 pun terbatas.

Sementara itu, dari pelaku industri mengaku masih tetap optimistis dapat menjaga sekaligus meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sekretaris Perusahaan PT Phapros Tbk. Zahmilia Akbar mengatakan saat ini salah satu pasar yang perseroan sasar adalah pasar pemerintah melalui obat program, baik untuk penanganan Covid-19 dan penyakit lainnya. Pasalnya, saat ini untuk pasar produk obat bebas dan obat resep bermerek yang tidak terkait dengan Covid-19 tumbuh sangat rendah.

"Kami berusaha terus untuk meningkatkan produksi produk-produk terkait Covid-19, agar jangann sampai ada kekosongan produk di masyarakat," katanya.

Perseroan pun menilai penanganan pandemi Covid-19 yang masih berlangsung memberi dampak pada pergeseran portofolio obat Phapros yang kini menjadi mayoritas atau 51 persen untuk obat generik. Perseroan mencatat angka tersebut naik dari level 49 persen sebelum Covid-19 menyerang.

Adapun sejumlah produk yang berkaitan dengan Covid-19 ini, misalnya multivitamin kombinasi vitamin C dan E (Becefort), methylprednisolone dan dexamethasone.

Sementara produk dari anak perusahaan yakni PT Lucas Djaja dan PT Marin Liza Farmasi juga merilis sejumlah produk yang kini sangat diminati pasar salah satunya disinfektan dan antiseptik.

Secara keseluruhan, Zahmilia mengemukakan sampai dengan saat ini perseroan telah merilis 12 produk baru yang terdiri dari multivitamin dalam bentuk tablet dan injeksi, serta produk dengan indikasi khusus misal anti-aging yang juga masuk dalam lini kosmetik.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) mendata pandemi Covid-19 menyebabkan bahan baku obat (BBO) sudah naik 30-300 persen. Selain itu, biaya angkut juga telah melonjak 3-5 kali lipat dari kondisi normal.

Alhasil, kapasitas terpasang pada akhir kuartal I/2020 berada di posisi 55-60 persen. Akan tetapi, melonjaknya permintaan suplemen kesehatan dan vitamin membuat utilisasi industri farmasi kembali mendekati posisi normal.

"Permintaan imunomodulator pada kuartal II/2020 naik tinggi," ujar Direktur Eksekutif GPF Dorojatun Sanusi.

Namun, permintaan imunomodulator akan melandai hingga akhir tahun setelah memuncak pada April-Juni 2020. Obat imunomodulator adalah obat yang dapat meningkatkan imunitas tubuh.

Dorojatun menyampaikan obat imunomodulator yang banyak diserap adalah yang memiliki kandungan mineral dan vitamin tinggi. "Tingginya permintaan imunomodulator itu hanya tahun ini saja, secara spesifik pada saat pandemi," ucapnya.

Dorojatun meramalkan pertumbuhan akibat permintaan imunomodulator tersebut akan terhenti pada kuartal III/2020. Artinya, lanjut Dorojatun, pertumbuhan industri farmasi akan melandai secara tahunan pada kuartal IV/2020 ke kisaran 6-6,5 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper