Bisnis.com, JAKARTA – Meningkatnya permintaan di sejumlah destinasi ekspor dan produksi di dalam negeri yang terbatas menjadi salah satu pendorong naiknya harga sejumlah komoditas utama di pasar global.
Hal ini setidaknya terlihat pada karet yang dalam dua bulan terakhir menunjukkan tren positif. Laporan World Bank menunjukkan harga rata-rata karet TSR20 naik dari US$1,37 per kilogram (kg) pada September menjadi US$1,53 per kg pada Oktober 2020.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) Azis Pane tak memungkiri jika ekspor karet mengalami perbaikan dalam beberapa bulan terakhir.
Mengutip laporan BPS, nilai ekspor karet dan barang dari karet naik 9,28 persen secara bulanan dari US$508,4 juta pada September menjadi US$555,5 juta pada Oktober. Volume ekspor pun naik dari 290.800 ton menjadi 313.100 ton.
“Permintaan memang membaik karena aktivitas manufaktur di China sudah positif, permintaan untuk karet membaik karena pabrik ban di sana sudah mulai produksi,” kata Azis saat dihubungi, Senin (16/11/2020).
Meski demikian, kenaikan harga karet ini diakui Azis turut dipengaruhi oleh ketatnya pasokan. Produksi karet Indonesia cenderung turun akibat berlanjutnya serangan jamur Pestalotiopsis sp. yang menyebabkan penyakit gugur daun karet.
Baca Juga
Selain itu, tekanan harga karet yang rendah sejak 2019 telah memaksa banyak petani untuk berhenti menanam karet dan mengalihkan kebun mereka dengan komoditas lain.
“Mungkin kondisi petani ini pulalah yang membuat importir kembali melakukan pembelian. Agar petani bisa tetap ada pemasukan,” lanjutnya.
Meski ketatnya pasokan membawa keuntungan tersendiri dari sisi harga, Azis mengemukakan Indonesia harus mewaspadai potensi bertambahnya pasokan seiring berkembangnya investasi perkebunan karet di sejumlah negara Asia Tenggara seperti Laos, Myanmar, dan Kamboja. Jika pasokan karet bertambah, harga diyakini bakal kembali terkoreksi.
“China sedang giat berinvestasi di perkebunan karet. Mereka menggunakan bibit yang lebih baik dengan produktivitas tinggi,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Azis berharap pemerintah dapat melanjutkan komitmen untuk meningkatkan serapan di dalam negeri. Dengan demikian, harga karet setidaknya bisa lebih terkendali ke depannya dan tidak rentan terhadap potensi pasokan global yang bertambah.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Perdagangan Fithra Faisal Hastiadi mengatakan solusi untuk meredam volatilitas ekspor nasional berbasis komoditas terletak pada rencana jangka menengah dan panjang.
Dia mengatakan ekspor Indonesia memang masih didominasi oleh komoditas. Oleh karena itu, pemerintah disebutnya telah mulai melakukan peralihan pada produk dengan nilai tambah sejak 2014.
“Kalau kita lihat, pertumbuhan investasi di infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir dimaksudkan untuk menunjang manufaktur nasional agar menghasilkan produk bernilai tambah,” ujarnya.
Di sisi lain, terdapat pula pekerjaan rumah perbaikan produktivitas manufaktur dan juga peningkatan kualitas SDM yang mendukung upaya hilirisasi dan diversifikasi. Menurutnya, hal ini bakal diakomodasi lewat implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dan pemberlakuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP).
“RCEP nantinya akan mengakomodasi hal tersebut, ada peluang untuk akses input bahan baku yang lebih murah sehingga kita bisa diversifikasi dan masuk ke rantai pasok produksi yang lebih tinggi,” kata Fithra.