Bisnis.com, JAKARTA — Pandemi Covid-19 berhasil mengubah perilaku masyarakat untuk mengonsumsi sejumlah produk kebersihan guna menjaga kesehatan dalam menunjang aktivitas. Sejumlah produk pun kini dianggap penting dan tidak boleh luput dari penggunaan sehari-hari di antaranya masker, handsanitizer, hingga suplemen.
Selaras dengan hal itu, pelaku industri produk konsumsi sehari-hari pun mulai menyesuaikan diri dengan berinovasi menyediakan varian yang relevan agar tak luput dari permintaan yang tengah naik daun.
PT Kino Indonesia Tbk. misalnya mau tidak mau mengaku telah mengubah arah kinerja produksi tahun ini dengan berfokus pada produk yang memiliki permintaan tinggi terutama berhubungan dengan sanitasi.
Salah satu produk unggulan perseroan yakni hand sanitizer merek Eskulin yang diformulasikan khusus untuk anak-anak. Produk itu pun diklaim efektif membasmi kotoran dan kuman tanpa sabun dan air serta diperkaya moisturizer dan vitamin E untuk menjaga kelembaban kulit.
Tak hanya itu, perseroan juga telah merilis produk Instance atau hand sanitizer yang menawarkan kandungan alkohol 75 persen dengan harga terjangkau
Corporate Finance Director Kino Indonesia Budi Muljono pun mengakui hal itu tidak serta merta menjadikan perseroan tetap meraup pundi-pundi cuan yang besar mengingat market di sini sudah kompetitif karena banyak pemain lain. Alhasil, secara keseluruhan pabrikan milik perseroan pun harus mengalami produksi.
Baca Juga
"Tentunya pabrik mengalami penurunan produksi terutama di segmen yang melemah selama pandemi ini. Kami sebagai perusahaan tetap harus berusaha mengatur cashflow kami akan dapat bertahan dengan keadaan sulit ini sehingga produksi harus dimanage sebaik mungkin sesuai dengan persediaan dan permintaan pasar," katanya kepada Bisnis, Rabu (4/11/2020).
Budi mengemukakan sejumlah produk yang dalam kondisi ini terkontraksi pun di antaranya yang berhubungan dengan kecantikan atau produk yang pangsa pasarnya adalah anak-anak bersekolah. Namun, pabrikan pun tetap menyiasati hal ini dengan meracik varian baru guna tetap membantu kinerja perseroan.
Sementara itu, produsen minuman Larutan Cap Kaki Tiga ini tetap memandang optimis adanya peluang dari periode libur yang masih ada pada akhir tahun ini yang memungkinkan sejumlah segmen memiliki potensi peningkatan penjualan. Namun, perseroan tetap berhati-hati untuk tidak menempatkan harapan terlalu tinggi di periode tersebut.
"Saat ini kami lebih fokus terhadap pengembangan internal kami di mana kami fokus pada pengembangan dan implementasi sistem agar dapat mempersiapkan diri saat ekonomi berangsur pulih dengan adanya vaksin di awal tahun depan," ujarnya.
Adapun menilik laporan kinerja perseroan selama sembilan bulan berjalan, emiten dengan sandi saham KINO ini memang mencatatkan penurunan penjualan 10,71 persen secara tahunan menjadi Rp3,11 triliun.
Seluruh segmen penjualan mengalami penurunan per September 2020. Penjualan untuk segmen perawatan tubuh masih menjadi penopang bisnis perseroan dengan pendapatan sekitar 50,96 persen. Kemudian disusul oleh segmen minuman sebesar 38,02 persen, dan makanan senilai 9,35 persen dari total pendapatan periode tersebut.
Sementara itu, meski tipis PT Unilever Indonesia Tbk. mencatatkan kinerja pendapatan yang lebih baik dengan pertumbuhan 0,3 persen secara tahunan menjadi Rp32,46 triliun hingga akhir periode kuartal ketiga tahun ini yang tentunya juga didorong oleh peningkatan penjualan produk kesehatan dan kebersihan.
Direktur Keuangan Unilever Indonesia Arif Hudaya bahkan mencatat sejak awal pandemi hingga saat ini, ada sekitar 60 jenis produk baru diluncurkan. Produk tersebut baik berasal dari brand baru, produk baru dari brand lama ataupun varian kemasan.
"Perbuahan kebiasaan konsumen selama pandemi menyebabkan sejumlah permintaan produk kami meningkat seperti produk home care dan personal care hingga bumbu masakan. Namun, untuk kategori food and refreshment karena hotel, restoran, dan kafe yang tutup selama pandemi dan PSBB," katanya.
Arif menyebut perseroan telah meluncurkan sejumlah produk seperti handsanitizer, disinfektan yang terjangkau untuk mengakomodir pelemahan daya beli masyarakat. Unilever juga menambah beberapa portfolio merek baru selama pandemi, seperti produk home care halal Sahaja. Alhasil, hingga saat ini, Unilever telah memiliki 43 merek dalam portfolio produknya.
Direktur Unilever Indonesia Ira Noviarti menjelaskan bahwa saat ini perseroan pun tidak hanya mengacu terhadap relevansi kebutuhan yang ada, inovasi yang dilakukan perseroan juga akan berdasarkan kebutuhan konsumen untuk masa depan.
“Kami akan melihat apa yang diperlukan konsumen ke depannya, kami akan kerja sama dengan RnD dan Market Insight untuk menggali terus kebutuhan konsumen yang belum di-addressed perseroan, maupun kebutuhan possible yang belum dikeluarkan perseroan,” kata Ira.
BAHAN BAKU
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiono mengamini saat ini permintaan bahan baku khususnya untuk produk penunjang kesehatan seperti handsanitizer, masker, hingga alat pelindung diri atau APD meningkat pesat. Alhasil, permintaan tersebut cukup mendorong utilisasi industri hulu saat ini.
"Rerata utilisasi di hulu sekitar 85 persen karena olefin sudah 95 persen. Namun, karena tekstil belum naik di aromatik utilisasi hanya sekitar 60 persen. Jadi, dengan sedikit penguatan kami optimistis tahun ini akan minus 2,5 persen," katanya.
Fajar pun meirinci permintaan untuk packaging saat ini sudah bagus sekali atau naik hingga 50 persen. Porsi total penjualan untuk industri makanan dan minuman pun tercatat sebesar 40 persen. Permintaan yang meningkat juga terjadi pada produk non-woven yang digunakan sebagai bahan baku APD dan masker.
Sisi lain, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mencatat saat ini pabrikan mengurangi konsumsi bahan baku lantaran utilisasi pabrikan pun terpukul ke kisaran 60-70 persen akibat pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, Adhi meramalkan pertumbuhan volume produksi industri mamin masih akan positif, tetapi sulit menyentuh target tengah 2020 di level 4 persen. Adhi berpendapat walaupun ada lonjakan permintaan pada kuartal IV/2020 karena tanggal merah, pertumbuhan 4 persen di akhir 2020 masih sulit dicapai.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim mengatakan pandemi Covid-19 membuat pihaknya sulit untuk memberikan pembinaan pada pabrikan untuk meningkatkan produksi. Pasalnya, ujar Rochim, permintaan minuman ringan biasanya terkonsentrasi pada daerah wisata.
"Kalau makanan, orang beli [lalu] bisa bawa pulang. Kalau minuman, [umumnya] dikonsumsi langsung. Jarang minuman [dikonsumsi di rumah]," ujar Rochim.
Oleh karena itu, Rochim menilai perbaikan industri makanan akan jauh lebih cepat dari industri minuman. Menurutnya, performa industri minuman ringan belum akan kembali seperti 2019 pada tahun depan.
Asosiasi Minuman Ringan (Asrim) meramalkan volume produksi sampai akhir 2020 akan anjlok sekitar 12-15 persen. Adapun, Rochim menilai industri minuman belum akan tumbuh lebih dari 7 persen pada 2021.
Adapun, performa negatif industri minuman ringan baru terjadi pada 2017 atau sebesar 3,89 persen pada 2007-2019. Maka dari itu, Asrim menilai performa produksi pada 2020 merupakan yang terburuk dalam 13 tahun terakhir.
Sebelumnya, Kemenperin meramalkan industri mamin diramalkan akan tumbuh hingga 9 persen pada akhir 2020 atau lebih tinggi dari realisasi 2019 yakni 7,9 persen. Namun demikian, Kemenperin terpaksa menurunkan proyeksi tersebut ke level 4 persen karena pandemi Covid-19.
"Sampai akhir tahun mungkin sekitar 3 persen. Karena beberapa kali kunjungan [ke pabrikan], industri mamin [sudah merasakan] rebound pada Juni 2020. Melihat itu, mudah-mudahan [tumbuh] 3 persen, mungkin tidak 4 persen," ujar Rochim.
Selepas sejumlah target produksi pabrikan penyedia barang konsumsi sehari-hari yang akan terkoreksi tahun ini, pandemi Covid-19 tentu telah memberikan pelajaran berharga untuk semua pihak utamanya pelaku usaha dalam berinovasi dan berproduksi. Di mana tuntutan kecepatan dan ketepatan produk menjadi yang utama jika ingin tetap menjadi pilihan pertama untuk konsumen.